Membantah Aqidah Sayyid Quthb tentang Kenikmatan Akhirat dalam Bukunya Azh-Zhilal

Nampak di buku ini kalau sebagian aqidahnya telah berubah, namun disayangkan bahwa dia berpindah kepada aqidah rusak lainnya, yakni aqidah sufi ekstrem yang disifati oleh para ulama sebagai aqidah zindiq.

Sayyid Quthb berkata dalam Azh-Zhilal 6/3292:
((Sesungguhnya gambaran-gambaran inderawi tentang kenikmatan dan adzab ini tersebut dalam Al-Qur'an pada beberapa tempat, kadang disebutkan bersamanya gambaran maknawi dan kadang pula hanya sendiri. Sebagaimana gambaran-gambaran tentang kenikmatan dan adzab yang terlepas dari inderawi juga disebutkan dalam beberapa tempat. Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan manusia, Dialah yang paling berilmu dengan ciptaan-Nya itu, paling mengetahui apa-apa yang dapat memberikan pengaruh terhadap qalbu mereka, pendidikan terbaik untuk mereka, lalu yang paling tepat untuk kenikmatan dan adzab-Nya.

Manusia berlainan sifat, beragam jiwa, dan tabiat yang berbeda-beda. Semuanya bertemu dalam fitrah kemanusiaan, lalu berbeda dan beragam sesuai dengan masing-masing manusia.

Oleh karenanya, Allah subhanahu wa ta’ala merinci macam-macam kenikmatan dan adzab, begitu juga dengan beragam keindahan dan penderitaan, sesuai dengan ilmu-Nya yang mutlak terhadap hamba-hamba-Nya.

Ada manusia yang cocok di-tarbiyah (dididik), dibangkitkan geloranya untuk beramal, tepat untuk mendapatkan balasan, serta jiwa mereka pantas memperoleh sungai-sungai air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai khamr yang lezat bagi peminumnya, sungai-sungai madu yang disaring, berbagai macam buah, beserta maghfirah dari Rabb mereka dengan Allah subhanahu wa ta’ala memberikannya jaminan selamat dari api Neraka dan kenikmatan Surga-Surga……..

Merekalah orang-orang yang tepat untuk di-tarbiyah dan layak untuk dibalas.

Di antara manusia pula, ada yang beribadah kepada-Nya sebab kesyukuran akan segala nikmat-Nya yang tidak sanggup dia hitung. Atau mencintai-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan ketaatan layaknya pendekatan seorang pecinta kepada kekasihnya. Atau dia malu kalau Allah subhanahu wa ta’ala melihatnya dalam suatu keadaan yang tidak Dia sukai, tanpa melihat apa yang ada di belakangnya berupa surga atau neraka, kenikmatan atau adzab sama sekali.

Merekalah orang-orang yang tepat untuk mendapatkan tarbiyah dan balasan, Allah subhanahu wa ta’ala berflrman pada mereka:


"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (Maryam : 96)

Atau mereka diberitahukan bahwa mereka akan berada:

"Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa." (Al-Qamar : 55)

Telah diriwayatkan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat sehingga bengkak kedua kakinya, maka 'Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: "Mengapa engkau melakukan hal ini ya Rasulullah, padahal telah diampuni semua dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Apakah aku tidak suka untuk menjadi seorang hamba yang bersyukur?!" (HR. Al-Bukhari 4837)

Rabi'ah Al-Adawiyyah berkata:
"Apakah kalau tidak ada surga dan neraka maka tidak ada seorang pun yang mau menyembah-Nya dan tidak seorang pun yang mau khusyu' kepada-Nya ?!"

Dia menjawab Sufyan Ats-Tsauri yang bertanya kepadanya: "Apakah hakikat keimananmu?", dia menjawab, "Saya tidaklah menyembah-Nya sebab takut pada neraka-Nya dan tidak pula sebab senang pada surga-Nya sehingga saya menjadi layaknya pekerja yang buruk, namun saya menyembah-Nya karena rindu kepada-Nya."

Maka dia jelaskan jenis ini dan beragam jenis itu dari jiwa dan tabi'at…… Semuanya engkau mendapatkannya -pada nikmat, adzab, dan beragam balasan yang dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala- apa-apa yang cocok untuk memberikan tarbiyah di muka bumi serta balasan yang pantas di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Diambil kesimpulan umum bahwa segala gambaran nikmat dan adzab dapat melembutkan dan menyembuhkan setiap kali pendengar menanjak naik ke pendakian tarbiyah dan tahzib (pembersihan jiwa) sepanjang turunnya Al-Qur'an, sesuai dengan jenis manusia yang diajak berbicara dan berbagai keadaan yang ayat-ayat telah mengarahkan pembicaraan kepadanya. Yaitu keadaan dan permisalan yang senantiasa berulang dalam kemanusiaan di setiap masa.))

Saya katakan: Ini adalah kebohongan dan kalimat kebatilan, Rasul yang paling afdlalpun shallallahu ‘alaihi wa sallam takut pada adzab Allah subhanahu wa ta’ala di negeri akhirat. Inilah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda (berdasarkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala):

"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku'." (Az-Zumar : 13 dan Al-An'am : 15)

Bersabda Rasul termulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." (Yunus : 15)

Juga Beliau bersabda: "Adapun, demi Allah, maka sesungguhnya akulah yang paling takut dan bertaqwa pada Allah daripada kalian." (HR. Al-Bukhari 5063)

Khalilullah Ibrahim ‘alahis sallam berkata:
"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan." (Asy-Syu'araa': 87)

Serta seluruh para nabi, mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dengan perasaan harap dan takut, Allah berfirman:

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami." (Al-Anbiyaa': 90)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengabarkan ucapan Khalil-Nya Ibrahim ‘alahis sallam:
"Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan." (Asy-Syu'araa': 85)

Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah bersabda tatkala para shahabat tengah menggali khandaq (parit): "Ya Allah, sesungguhnya kehidupan adalah kehidupan akhirat, maka berilah maghfirah untuk Anshar dan Muhajirin", maka mereka berkata menyambung Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Kamilah orang-orang yang telah berbai'at kepada Muhammad untuk berjihad selama kami masih hidup." (HR. Al-Bukhari: 4100)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri tegak di medan jihad mempidatokan kalimatnya: "Ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah bayangan pedang". (HR. Al-Bukhari: 2818). Sementara di antara para shahabat ada Abu Bakar, 'Umar, dan dan para tokoh shahabat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an." (At-Taubah : 111)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengabarkan ucapan istri Fir'aun:

"Ta Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Surga." (At-Tahrim : 11)

Serta Jibril ‘alaihis sallam berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Gembirakanlah Khadijah dengan satu rumah dari mutiara cekung tiada kegaduhan padanya dan tidak pula ada keletihan". Sedangkan Khadijah radhiyallahu ‘anha lebih afdlal dari Rabi'ah, bahkan lebih afdlal dari semua shahabat wanita apalagi hanya selainnya."

Betapa sering Allah membangkitkan kerinduan para mukmin, utamanya terhadap surga, semisal firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar." (Ash-Shaff : 10-12)

Di sini Allah subhanahu wa ta’ala telah menyeru mereka menuju jihad untuk selamat dari neraka dan sukses mendapatkan surga, maka mereka pun dengan ringan mempersembahkan jiwa mereka demi untuk selamat dari neraka dan menang meraih Surga.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang para tokoh kaum mukmin:

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdosa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajdah: 16-17)

Inilah keadaan para nabi dan para mukmin utama dari kalangan shahabat, shiddiq, syuhada', dan ulama. Merekalah manusia-manusia yang paling besar kesyukurannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, paling malu dari-Nya, mencintai-Nya, serta banyak di antara mereka adalah kekasih Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki puncak derajat cinta. Maka perbuatan Sayyid Quthb adalah sebuah klasifikasi manusia yang paling batil dan bagian dari khurafat kaum sufi.

Apakah seorang muslim akan memilih untuk mengambil Al-Qur'an, As-Sunnah, uswah para nabi, dan teladan para pengikut mereka yang sejati ataukah dia lebih memilih ajaran zindiq ini yang disandarkan secara bohong terhadap Rabi'ah dan Sufyan Ats-Tsauri?

Menjadi kemestian bagi seorang hamba untuk mempunyai kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, takut akan adzab-Nya, serta berantusias besar terhadap pahala-Nya. Para ulama menetapkan bahwa siapa yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala semata dengan perasaan khauf (takut) saja maka dia adalah khariji (khawarij), sedangkan barangsiapa yang menyembah-Nya hanya dengan raja' (harap) tanpa disertai rasa takut maka dia orang zindiq, akhirnya siapa saja yang beribadah kepada-Nya dengan raja' dan khauf maka dialah mukmin.

Kemudian dari mana Sayyid Quthb mengambil klasifikasi batil ini lalu dengannya dia mengkelas-kelaskan manusia?? Kalau para nabi menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dengan takut dari adzab-Nya dan berantusias pada surga-Nya, maka apakah kelas-kelas lain yang masuk di dalamnya para sufi lebih afdlal dari para nabi ‘alahimus sallam?? Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejahilan dan kesesatan serta kita berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari aqidah yang membinasakan ini. Para thalibul 'ilmi, janganlah lupa jika aqidah ini tegak di atas faham melebihkan para wali di atas para nabi dan rasul, juga dari situlah berangkat dukun besar para sufi ibnu 'Arabi dalam ucapannya: "Tingkatan Nubuwah di alam Barzakh sedikit di atas rasul namun di bawah wali."

Inilah yang sempat saya paparkan dan diskusikan atas ajaran-ajaran pokok laki-laki ini serta apa-apa yang dia bangun di atasnya berupa: perkataan, sikap, teori, serta perilaku yang mengotori Islam dan Al-Qur'an. Sementara saya belum sanggup untuk menyebutkan keseluruhan yang harus dipaparkan dan didebatkan, namun saya baru sanggup untuk meletakkan kunci-kunci di tangan siapa yang berkehendak untuk menolong Islam dan Al-Qur'an, serta membelanya dari tindakan aniaya laki-laki ini dan semisalnya.

Shalawat dan salam bagi Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 115-124; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

Membantah Buku Masyahidul Qiyamah Fil Qur'an yang Berjalan Berdasarkan Kaidah Sayyid Quthb dalam At-Tashwirul Fanniy

Dia katakan dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Ar-Rahman dari ayat:

"Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga." (Ar-Rahman : 46)
Hingga akhir surat.

Dia melakukan studi banding antara dua surga dengan segala kenikmatannya, kenikmatan kota dan kenikmatan desa.

Dia katakan:
((Keduanya adalah dua derajat kenikmatan. Yang pertama tampil dalam bentuk kemewahan kota, sedangkan yang kedua tampil dalam gaya kemewahan pedalaman. Engkau melihat semua bentuk dan gambar ini semata sebagai contoh bagi kenikmatan untuk mendekatkannya kepada indera dan menggambarkannya dalam khayalan. Saya tidak sanggup untuk memastikan apapun, saya tidak mempunyai hujah yang jelas)).

Maksudnya: dia tidak bisa menentukan adanya kenikmatan inderawi jasmani dari dua surga yang padanya ada banyak mata air yang mengalir, pepohonan, buah-buahan, dan bidadari yang laksana permata Ya'qut dan Marjan, permadani yang bagian dalamnya sutera, rumah, dan bantal-bantal hijau.

Dia tidak sanggup untuk memastikan bahwa semua hakikat ini tsabit (benar adanya) yang dapat dlsaksikan oleh mata kepala, juga tidak bisa mengatakan bahwa kenikmatan yang ada di dalamnya bersifat inderawi; makan, minum, bertelekan, serta berhubungan dengan bidadari yang memiliki puncak kecantikan.

Dia tidak mampu untuk memutuskan adanya sesuatu dari semua ini secara wujud, sebab ia hanyalah contoh bagi kenikmatan yang mendekatkannya kepada indera dan menggambarkannya dalam khayalan. Dia tidak mempunyai hujah yang jelas bahwasanya semua itu hakikat yang tersentuh dan disaksikan serta kenikmatannya kenikmatan jasadi. Lihat bukunya Al-Masyahid halaman 216.

Dia katakan dalam memberikan penafsiran terhadap firman Allah subhanahu wa ta’ala di surat Al-Muddatstsir:

"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, 'Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka) ?'." (Al-Muddatstsir : 38-42)

((Kenikmatan di sini bukan sekedar keselamatan dan keterlepasan saja. Akan tetapi juga merasakannya dan teristimewakan dari kaum jahat, ia sebuah kenikmatan jiwa yang maknawi yang dilukiskan dalam pemandangan dialog antara dia dengan para pelaku kejahatan:

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)?" (Al-Muddatstsir : 42) ))

Dia tidak mengimani kenikmatan materi, inderawi, dan jasmani di surga, semuanya itu dalam aqidahnya hanyalah kenikmatan jiwa, ruh, dan maknawi. Inilah aqidah faham kebathinan.

________________________


[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 112-114; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

Orang-orang Kafir Tidaklah Menyebutkan Kata ‘Sihir’ untuk Al-Qur'an dan Rasulullah Melainkan untuk Celaan dan Hinaan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Shaad, demi Al-Qur'an yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta'. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): "Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (meng-esakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan, mengapa Al-Qur'an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al-Qur'an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan adzab-Ku." (Shaad : 1-8)

Ini bentuk perlawanan dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur'anul Karim. Mereka berada dalam kesombongan, permusuhan sengit, kekufuran, dan pembangkangan. Tidaklah mereka inginkan dalam menyebutkan kata sihir dan dusta terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan untuk menghinakan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghalangi manusia dari mengikutinya. Sedangkan sumber peperangan ini ialah pendustaan dan keraguan akan apa yang diturunkan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:

"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (darinya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dan Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: 'Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?' Berkatalah Muhammad (kepada mereka): 'Tuhanku mengetahui semua perkataan di langit dan di bumi dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui'. Bahkan mereka berkata (pula): '(Al-Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mu’jizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus'." (Al-Anbiyaa': 1-5)

Mereka berada dalam kedunguan dan berpaling, orang yang hatinya dipenuhi oleh kelalaian. Mereka dalam mendengarkan Al-Qur'an hanya bermain-main, serta ahli makar, tipu daya, dan zhalim dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur'an. Mereka tak kenal lelah dalam memburukkan Rasulullah dan Al- Qur'anul Karim, tidak pula dalam merintangi Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pandangan mereka adalah manusia, maka mustahil kalau Allah subhanahu wa ta’ala mengutusnya, inilah keadaannya. Adapun apa yang diturunkan kepadanya adalah sihir dan mimpi kacau yang dia buat-buat. Bahkan dia seorang penyair, sedangkan Al-Qur'an itu syair dan sihir. Bagi mereka inilah puncak pemburukan, pembusukan, dan pendustaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Dan tak ada suatu ayatpun dari ayat-ayat Tuhan sampai kepada mereka, melainkan mereka selalu berpaling darinya (mendustakannya). Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Qur'an) tatkala sampai kepada mereka. Maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan." (Al-An'aam : 4-5)

Allah subhanahu wa ta’ala menjawab mereka dengan ancaman pembinasaan sebab pendustaan dan pemburukan mereka. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam susunan kalimat ini menerangkan demikian kuatnya mereka dalam pembangkangan, aniaya, dan mendustakan:

"Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu berkata: 'Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata’. Dan mereka berkata: 'Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) seorang Malaikat?' dan kalau Kami turunkan (kepadanya) seorang malaikat, tentu selesailah urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki dan (jika Kami jadikan dia berupa laki-Iaki), Kamipun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu. Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (adzab) olok-olokan mereka." (Al-An'am : 7-10)

Mereka dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran telah menggunakan senjata yang paling diandalkan. Maka di sisi mereka tidak ada yang paling buruk daripada 'sihir', akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala memburukkan mereka. Mereka tidak sanggup memalingkan orang- orang selain dengan kata ini diikuti dengan olokan dan ejekan untuk menambah pengkaburan, serta mereka mempertimbangkan sangat dalam apa yang dapat menghalangi manusia dari beriman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur'an, sebagaimana keadaan para musuh rasul-rasul sebelum mereka, bahkan kaum jahiliyah yang ini lebih keras dalam memberikan perlawanan dan memerangi.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Maka tetaplah memberi penngatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang gila. Bahkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya". Katakanlah: "Tunggulah, maka sesungguhnya akupun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu". Apakah mereka diperintah oleh pikiran-pikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar." (Ath-Thuur : 29-34)

Di sini mereka menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Qur'an dengan sifat paling buruk yang sudah dikenal di kalangan mereka yang menandakan demikian kuatnya pengkaburan dan upaya mereka membuat manusia lari menjauh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan ahli tenung dan orang gila, sedangkan ajarannya mantera dan kegilaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam penyair yang membuat-buat perkataan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan ajarannya kepalsuan dan kedustaan. Sumber dan akar dari kesemuanya itu adalah kekafiran dan kelaliman, mereka tidak memaksudkan dengannya selain menikam dan mengkaburkan.

Jika ternyata demikian realitas kuffar yang mendustakan dan begitu maksud tujuan hina mereka, tentunya tidak boleh mengatakan Al-Qur'an itu sihir, sebagaimana tidak boleh menyebutnya syair, tidak juga mantera perdukunan. Sebagaimana tidak boleh mengatakan Rasulullah sebagai seorang penyihir, penyair, dukun, pendusta, gila,….. Jadi pengharaman dan larangan menggelari sihir Al-Qur'an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan keharaman menyebutkan dusta, dukun, syair, gila, dan segala macam celaan kuffar terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalahnya untuk mendustakan, mengolok, mengejek, memburukkan, dan membuat lari.

Barangsiapa mengatakan bahwa orang-orang kafir menyatakan Al-Qur'an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sihir bukan dengan semua maksud yang dinyatakan oleh Al-Qur'an dan bukan sebab motivasi yang ditegaskan oleh Al-Qur'an, maka dia tidak lain dari seorang yang berbicara sembrono, asal ngomong, dan menabrak Al-Qur'anul Karim yang diturunkan dari Yang Maha Berilmu dan Maha Tahu dengan ucapan-ucapan kuffar yang mendustakan itu:
"Katakanlah: "Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?!" (Al-Baqarah : 140)

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 104-111; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

Membantah Sayyid Yang Menamakan Al-Qur'an dengan 'Sihir' Berulang-ulang Kali

Kaum kuffar musyrikin telah menyifati Al-Qur'an yang agung dan Rasulullah yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan banyak gelar yang buruk, di antaranya; sihir, dukun, dusta, palsu, dan berbagai tuduhan busuk lainnya untuk menghinakan Al-Qur'an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga manusia lari dari keduanya.

Allah telah membantah mereka dengan bantahan yang sangat kuat sehingga semua pemburukan dan pemalsuan ini dapat dienyahkan untuk membela nash-nash Kitab-Nya dan Rasul-Nya yang jujur terpercaya, seorang utusan sebenarnya dari Rabb sekalian alam.

Jikalau realitasnya seperti ini, maka tidak boleh sama sekali menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gelar 'penyihir', sebagaimana tidak boleh menyifatinya sebagai dukun dan pendusta. Demikian juga dengan Al-Qur'an tidak boleh disebut 'sihir' sebagaimana tidak boleh menyebutnya mantera dukun, kedustaan, atau cerita fiksi. Semuanya gelar buruk yang dibuat-buat oleh para pendusta yang menolak Al-Qur'an yang agung dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur terpercaya.

Tidak boleh menyifatinya sebagai syair, mantera dukun, cerita, serta semua lafazh buruk yang dipergunakan kuffar dalam memburukkan Al-Qur'an dan mengaburkan kewibawaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghalangi manusia dari beriman dan mengikuti Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun Sayyid Quthb justru menyebutkan lafazh tercela lagi hina di pandangan seluruh umat manusia ini berulang-ulang. Saya akan menyebutkan sebagiannya:

[1] - Halaman 8: "Akan tetapi sihir dan daya tariknya senantiasa ada". Yakni gambar-gambar yang dia khayalkan pada Al-Qur'an.
[2] - Halaman 11, dia beri judul 'Sihir Al-Qur'an'.
[3,4] - 'Sihir Al-Qur'an terhadap bangsa Arab'. Dia katakan tentang kisah 'Umar radhiyallahu ‘anhu dan Al-Walid bin Al-Mughirah: "Keduanya dapat menemukan sihir ini."
[5] - Halaman 11: "Kemampuan sihir yang menaklukkan ini, di mana kaum mukmin dan kuffar sama-sama mengakuinya."
[6] - Halaman 13: "Hanya saja semua sebab ini tidaklah menafikan bahwa ia adalah sebab sihir Al-Qur'an."
[7,8,9,10] - Halaman 14 'Sihir yang dipelajari': "Dia menyebutkan sebab imannya pada sihir ini. Ini sungguh menunjukkan sihir Al-Qur'an terhadap bangsa 'Arab, di sinilah bertemu kisah kufur dan kisah iman dalam pengakuan terhadap sihir Al-Qur'an. Tidaklah lebih kurang dari kedua kisah tersebut dalam penunjukan terhadap sihir ini, apa yang diceritakan oleh Al-Qur'an…… dari sebagian kuffar: Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur'an ini!"
[11] - Halaman 17: Tema 'Sumber sihir ini'.
[12] - "Bagaimanakah bersepakat mengakui sihirnya baik kaum mukmin maupun kuffar".

Saya katakan: Mustahil kaum mukmin menyetujui bahwa ia sihir, akan tetapi mereka hanya beriman bahwasanya ia adalah wahyu dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

[13,14] - Halaman 18: "Wajib atas kita untuk mencari mata air sihir ini di dalam Al-Qur'an". Dan: "Walau begitu namun dia mengandung sumber mata air ini yang dirasakan oleh bangsa 'Arab lalu mereka berkata:

"Ini hanyalah sihir yang dipelajari."

Saya katakan: Telah diketahui dengan baik bahwa mereka tidaklah mengucapkannya dalam rangka memuji bahkan mereka mengatakannya untuk mencela yang motivasinya adalah dengki, sombong, dan permusuhan.

[15,16,17] - Halaman 19: "Hendaklah kita memerhatikan surat-surat ini sebagai contoh, agar kita dapat melihat sihir apa yang terkandung di dalamnya yang membuat Al-Walid terguncang dengannya". "Di manakah sihir yang diomongkan oleh Walid bin Al-Mughirah[15] setelah berpikir dan meraba-raba". "Maka mesti sihir yang dia maksudkan itu tersembunyi di sisi selain bagian tasyri' (penetapan syari'at)".

Saya katakan: Telah diketahui jelas bahwa Al-Walid tidaklah mengatakan:

"Ini hanyalah sihir yang dipelajari." (Al-Muddatstsir : 24)

Melainkan untuk menjelekkan, memburukkan, dan menjauhkan manusia darinya, makanya Allah mencelanya dengan sangat keras dan mengancamnya bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam Neraka Saqar.

[18] - Halaman 24: "Marilah kita memperhatikan surat-surat ini secara global agar kita dapat melihat sihir apakah yang ada padanya yang telah memengaruhi orang-orang terdahulu yang pertama mengikuti Muhammad, sampai sebelum Islam berjaya dengan 'Umar."

[19,20, 21,22] - Dia katakan tentang bangsa 'Arab yang hidup di masa turunnya Al-Qur'an, halaman 25: "Sesungguhnya mereka sesekali menamakannya syair dan sesekali dengan sihir". Lalu dia katakan: "Orang-orang yang tersihir telah menyambutnya dengan penerimaan, baik mereka yang beriman atau yang kafir. Mereka yang ini disihir maka menyambut dengan iman, sedangkan mereka yang itu disihir maka lari. Lalu kedua kelompok berbicara tentang apa yang telah mengenai mereka dari sihir itu, ternyata ia adalah pembicaraan yang gelap dan tidak menampakkan bagimu lebih dari sekedar gambaran seorang yang tersihir sedang terengah-engah tanpa mengetahui di mana letak kekuatan sihirnya."

Perhatikanlah bagaimana Sayyid memakai kata ‘kena’ yang dihubungkan dengan orang yang terkena sihir dan jin. Bisa jadi engkau akan mengatakan: Sayyid hanyalah memaksudkan pengaruh Al-Qur'an.

Saya tegaskan: "Ya, tapi apakah dia tidak bisa menggunakan kata ‘pengaruh', 'kekuatan pengaruh', dan semisalnya?! Jelas ia bisa, hanya saja Sayyid telah menyatakan jika dirinya memang tidak tunduk dalam pekerjaannya ini akan suatu aqidah keagamaan yang bisa membelenggu pikirannya dari pemahaman.

Juga dikatakannya di halaman 25: "Sesungguhnya kita benar-benar sanggup untuk meninggalkan sementara kesucian Al-Qur'an yang bersifat keagamaan."

Inilah rahasia menyebutkan sihir untuk Al-Qur'an, serta penyebutan panggung sandiwara, film, musik dan lain sebagainya yang tidak pantas untuk diberikan kepada kalimat seorang manusia yang menghargai dirinya dan kalimatnya, lalu bagaimanakah akan diberikan untuk kalimat para nabi, lantas bagaimana lagi jika dilekatkan pada kalimat Allah subhanahu wa ta’ala??

Sayyid Quthb berpandangan dalam At-Tashwir halaman 25 bahwa dia telah mendatangkan apa yang tidak disanggupi oleh para generasi awal dalam memahami Al-Qur'an, termasuk mereka semua itu: para shahabat, para ahli tafsir, para ahli balaghah (keindahan bahasa), dan lain semuanya. Diapun berkata 'Bagaimana memahami Al-Qur'an':

((Kita tidak sanggup mendapatkan dalam pembicaraan bangsa 'Arab yang hidup di masa turunnya Al-Qur'an gambaran yang tertentu akan keindahan seni ini yang mereka kadang menamakannya sya'ir dan kadang pula sihir. Walaupun kita sanggup untuk melihat sepintas gambaran pengaruh yang mengenai mereka. la telah disambut oleh semua yang tersihir, sama halnya mereka yang beriman atau kuffar. Yang satunya disihir lalu merekapun datang dengan iman, sedangkan yang lainnya disihir maka mereka lari. Kemudian masing-masing membicarakan apa yang telah mengenai dirinya dari sihir itu, ternyata ia adalah pembicaraan yang gelap dan tidak menampakkan bagimu lebih dari sekedar gambaran seorang yang tersihir sedang terengah-engah tanpa mengetahuil[16] di mana letak kekuatan sihirnya pada puitisasi menakjubkan yang mereka dengarkan, walaupun mereka benar-benar merasakan keindahan puitisasi itu di kedalaman hatinya berupa pengaruh aneh tersebut.

Inilah 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang berkata pada suatu riwayat: "Sewaktu saya mendengarkan Al-Qur'an maka menjadi lembutlah hatiku, saya menangis, dan dia membawaku masuk Islam" Ada yang meriwayatkan tentangnya bahwa dia berkata: "Alangkah indah dan mulianya kalimat ini" Lalu Al-Walid bin Al-Mughirah yang berkata sementara dia seorang yang kafir pada Muhammad dan Al-Qur'an tanpa peduli akan cinta dan loyalnya: "Demi Allah, ia benar-benar mempunyai kemanisan, memiliki keindahan menghancurkan apa yang ada di bawahnya, serta dia tinggi dan tidak tertandingi" sesudah itu dia berkata: "Itu hanyalah sihir yang dipelajari."))

KOMENTAR:
1. Tidak boleh melekatkan untuk Al-Qur'an nama sihir dan tidak juga untuk pengaruh yang ditimbulkannya terhadap jiwa dan akal.

2. Menggambarkan pemahaman 'Arab -yang masuk di antara mereka para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu- bahwa pembicaraan mereka tentang pengaruh Al-Qur'an -yang disifatkan Sayyid Quthb sebagai sihir- terhadap jiwa mereka adalah pembicaraan yang gelap dan pembicaraan orang yang tidak mengetahui letak kekuatan pengaruh adalah suatu tindakan biadab. Terlebih lagi di antara mereka ada 'Umar radhiyallahu ‘anhu yang disebutkannya, sementara beliau seorang yang Al-Qur'an telah turun menyepakatinya dan mendukung pandangan-pandangannya yang dalam, dipersaksikan baginya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ahli ilmu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tatkala aku sedang tidur, aku dibawakan segelas susu, aku pun minum sehingga dengan jelas saya melihat sesuatu yang indah keluar dan jari-jariku. Lalu aku memberikan sisa minumanku untuk 'Umar bin Al-Khaththab". Para shahabat bertanya, "Bagaimana anda menakwilkannya, ya Rasulullah?" Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: llmu". Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab llmu, hadits no. 82 dan Muslim pada kitab llmu hadits no.2671. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

"Sebenarnya, Al-Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu." (Al-Ankabuut : 49)

Bagaimanakah pandangan Sayyid Quthb tentang ilmu dan pemahaman mereka ??

Pandangannya ialah (bencana....!) pembicaraan mereka tentang pengaruh Al-Qur'an gelap, serta mereka tidak tahu di manakah letak kekuatan pemberian pengaruhnya dalam puitisasi yang begitu menakjubkan yang mereka dengarkan itu. Padahal Al-Qur'an turun dengan bahasa mereka, mereka memahami maksud-maksud tujuannya lebih dari orang lain, serta mereka menggapai balaghah dan kemu'jizatan bahasanya hingga ke tingkat yang mereka tidak dilampaui oleh para tokoh ahli bahasa dan ilmu di setiap disiplin ilmu. Semua hal ini diakui oleh semisal Imam Asy-Syafi'i, Al-Ashma'i, Abu 'Ubaid Al-Qasim bin Salam, bahkan oleh seluruh kaum muslimin.

Lalu datang Sayyid Quthb yang mengomentari keilmuan dan pemahaman mereka dengan komentarnya itu, kemudian menganggap dirinya telah diberikan apa yang tidak diberikan kepada mereka semua, mengetahui apa yang tidak diketahui oleh mereka,…..??

Demi Allah, andaikan itu adalah ilmu yang benar dan bermanfaat maka tentu orang yang terbawah (tingkatan) nya dari kalangan mereka akan mengungguli Sayyid Quthb, lebih-lebih lagi mereka yang paling di atas. Akan tetapi, tidak ada yang baik menurut Sayyid Quthb selain menundukkan semua nash kepada kesenian bathilnya yang dia ambil dari pertunjukan, film, musik, sandiwara, ……. dari Eropa. Sangat disayangkan !!

Allah subhanahu wa ta’ala telah menyucikan Islam dan Al-Qur'an dari apa yang ditempelkan Sayyid Quthb padanya. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah membersihkan akal, akhlak, dan Dien para shahabat dari memahami Kitabullah yang agung semisal pemahaman Sayyid Quthb yang tidak lain sekedar sebuah bisikan dan khayalan setan.

________________________

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 95-103; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

Membantah "Visualisasi Seni Dalam Al-Qur'an"

Dia katakan di bawah tema ini halaman 36:
((Visualisasi adalah sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an, dia mengungkapkan dengan gambaran inderawi imajinasi sesuatu yang maknawi, keadaan kejiwaan, kejadian inderawi, peristiwa yang dapat dilihat, serta contoh kemanusiaan dan tabiatnya. Lalu ia naik kepada gambar yang dilukiskannya, dia memberikan padanya sosok kehidupan atau gerakan yang dinamis, maka tiba-tiba makna yang ada dalam pikiran itu mewujud suasana dan gerakan, seketika itu ihwal kejiwaan menjadi layar tontonan, waktu itu juga contoh kemanusiaan menjadi satu sosok yang hidup, serta tabiat kemanusiaan pun menjadi pribadi yang tampil.

Adapun peristiwa, kejadian, kisah, dan pemandangan maka ia menjadi kelihatan jelas di hadapan. Padanya ada kehidupan dan gerakan dinamis, lalu tatkala ditambahkan kepadanya percakapan, maka sempurnalah semua unsur imajinasi. Hampir tidak pernah ia memulai suatu visualisasi melainkan ia mengubah para pendengar menjadi penonton dan memindahkan mereka ke panggung peristiwa pertama yang terjadi padanya atau akan terjadi sewaktu berputar seri demi seri pertunjukan dan berjalan dinamis semua gerakan. Pendengar lupa kalau ini hanyalah kalimat yang dibacakan dan contoh yang diperdengarkan, dia mengkhayalkannya sebagai tontonan yang ditampilkan dan peristiwa yang terjadi.

Penampilan inilah yang senantiasa ada di atas panggung, inilah reaksi beragam perasaan yang timbul sebab fase-fase yang sejalan dengan semua peristiwanya, serta inilah kalimat yang lidah terus bergerak menyebutkannya, lalu tampak dalam perasaan jiwa sebagai suatu kehidupan, bukannya cerita tentang kehidupan.

Tatkala kita teringat bahwa sarana yang menggambarkan makna dalam pikiran dan keadaan kejiwaan juga bahwa sarana yang menampilkan contoh kemanusiaan atau peristiwa yang diceritakan, hanyalah sebuah lafazh-lafazh yang beku tanpa ada warna yang menggambarkan dan sosok yang mengungkapkan, maka kitapun tahu sebagian rahasia kemu'jizatan dalam bentuk ini pada pengungkapan Al-Qur'an.

Permisalannya adalah seluruh Al-Qur'an di manapun, dia dipertunjukkan untuk suatu maksud yang telah kami sebutkan, kapanpun dia kehendaki untuk mengungkapkan suatu makna murni, keadaan kejiwaan, sifat maknawi, contoh kemanusiaan, peristiwa kejadian, kisah masa lalu, suatu pemandangan hari kiamat, serta keadaan nikmat dan adzab, atau di manapun dia berkehendak untuk membuat contoh apakah perdebatan atau penunjukan hujjah, bahkan kemanapun dia menghendaki perdebatan ini secara mutlak dan berpegang pada realitas inderawi, khayalan, dan pandangan.

Inilah yang kami maksudkan sewaktu kami katakan: "Sesungguhnya visualisasi itulah sarana yang paling utama dalam uslub Al-Qur'an". la bukanlah uslub hiasan dan bukan pula sesuatu yang liar berhenti di mana saja secara kebetulan, tapi ini adalah mazhab tetap[13], satu kesatuan alur, kekhususan universal, dan jalan yang tertentu, sangat menarik sewaktu dipergunakan dengan berbagai cara, suasana yang bermacam-macam, hanya saja terakhir dia kembali juga kepada kaidah besar ini: 'Visualisasi seni'.

Wajib bagi kita untuk memperluas makna visualisasi sampai kita berhasil mencapai semua ufuq visualisasi seni dalam Al-Qur'an. Dia adalah visualisasi dengan warna, gerakan, dan khayalan. Sebagaimana ia juga visualisasi dengan irama yang memberi warna dalam pertunjukan, seringkali berpadu padanya penggambaran, dialog, intonasi kata, serta nada ungkapan dan kalimat dalam menampakkan suatu bentuk yang dinikmati oleh mata, telinga, rasa, khayalan, pikiran, dan jiwa.

Ia adalah visualisasi hidup yang diambil dari alam makhluk hidup, bukan sekedar warna dan goresan yang beku. Ia adalah visualisasi yang mengukur jarak nan jauh dengan perasaan dan jiwa. Makna-makna yang dilukiskan memengaruhi jiwa anak Adam yang hidup atau pemandangan alam yang tidak memiliki kehidupan.))


Perhatikanlah istilah-istilah yang digunakannya: pemandangan, gambar, lukisan, layar, kisah, dialog, penonton, panggung, sarana visualisasi, peristiwa yang diceritakan dan yang digolongkan ke dalamnya; irama, musik, film, akting, nada, senandung, pensil lukis paling canggih (halaman 251), serta lensa foto.

Di atas semua istilah inilah tegak pekerjaannya yang memurkakan Allah subhanahu wa ta’ala serta meremukkan Dien dan akhlak, dibuat oleh para peletak perfilman dan panggung sandiwara, penulis skenario, dan sutradara film. Berkumpul padanya orang-orang yang paling rendah akhlak dan agamanya, bisa jadi Yahudi atau Nasrani bahkan orang-orang Komunis zindiq. Mereka mempunyai tujuan yang sangat busuk untuk menghancurkan Dien, akhlak, akal, adat istiadat yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di samping itu ada juga tujuan materialis, miliaran dollar yang mereka cintai.

Menurut keyakinanku Sayyid Quthb juga mengetahui semuanya setelah dia mengenali kandungan aktivitas ini dan pengetahuannya tentang jenis ragam manusia penyuka aktivitas ini yakni para penonton dan pendengarnya, bahwasanya kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang paling rendahan. Sedangkan manusia-manusia yang mulia baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan semuanya berlepas diri dari aktivitas semacam ini yang berisi panggung, bioskop, penonton, dan pendengar yang tenggelam dalam kelezatan syahwat, perbuatan sia-sia, membuang waktu percuma, dan melalaikan shalat sehingga mereka dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Lantas kenapakah dia mempergunakan istilah-istilah yang sangat hina ini (serendah orang-orang yang meramaikannya, pementasannya, tokoh seninya penonton, pemusik, penyanyi, serta penarinya yang laki atau perempuan)?? Mengapa dia menjadikan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala yang agung sebagai lapangan untuk menerapkan istilah-istilah busuk ini seburuk para produsernya dan semua yang terlibat di dalamnya?? Lalu menganggapnya sebagai mazhab tetap Al-Qur'an, kesatuan alur......??

Jikalau dia harus menerapkan semua istilah yang berada di bawah kaidahnya Visualisasi seni' ini silakan saja dia memilih apa yang dia kehendaki dari sya'ir dan centa-cerita buatan manusia (tapi bukan Al-Qur'an) baik dari para penulis cerita atau penyair Eropa serta siapa saja yang dia bertaklid padanya dari kalangan orang-orang yang melenceng baik dari bangsa Arab atau Ajam (non Arab).

Sementara sudah menjadi kewajibannya untuk menyucikan Kitab Allah subhanahu wa ta’ala kalimat Rabb sekalian alam yang agung dari kaidah seni ini dan penerapan semua istilah ini yang dibangun di atas kaidah tersebut sementara bangsa Arab belum pernah mengenalnya padahal Al-Qur'an turun dengan bahasa mereka. Di mana bangsa 'Arab tidak mengenal panggung sandiwara, bioskop, pertunjukan, dan tontonan mereka tidak mengenal musik, kaidah dan ragamnya. Bahkan andaikan mereka mengenalinya di masa kejahiliahan mereka, terlebih lagi setelah Islamnya tentunya mereka akan melihatnya sebagai urusan yang sangat hina dan membersihkan tangan mereka darinya. Sebab aktivitas ini menafikan kejantanan, kesatriaan, dan harga diri. Maka apakah hubungan semua urusan ini dengan Al-Qur'an yang Sayyid telah menjadikan seluruhnya sebagai lapangan guna mempraktikkan perkara tersebut, sangat disayangkan…..!!

Akan tetapi keadaan buruk yang telah dia pilihkan untuk dirinya sendiri dan dia menyatakan dengan terang-terangan dalam ucapannya: "Saya menegaskan dengan terang hakikat terakhir ini lalu saya nyatakan bersamanya, bahwa sesungguhnya saya tidaklah tunduk dalam urusan ini kepada suatu aqidah keagamaan yang membelenggu pikiranku dari pemahaman." (At-Tashwir, hal. 255)

Jikalau sudah begini keadaan Sayyid dan pengakuannya terhadap dirinya sendiri, maka apakah yang berdiri di depannya dan apakah yang menghalanginya??

Tidak kebesaran Al-Qur'an, tidak kedudukan para Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tidak pula merasakan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itulah sehingga dia telah bertindak sangat buruk memperlakukan kebesaran Kitab Allah, lantas diapun melanglang buana dengan kaidah yang rusak dan pengistilahannya yang tunduk kepadanya manusia-manusia yang paling hina serta dikerjakan oleh seburuk-buruk dan senista-nistanya manusia di tempat yang paling dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Diapun menjadikan Kitabullah dan nash-nashnya yang suci layaknya pertunjukan, kisah, dan cerita yang dipanggungkan dan difilmkan, innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun.

Seorang muslim sejati teramat sangat menyayangkan bahwa buku ini dan pengarangnya disambut riuh dengan pengkultusan, demikian juga dengan semua karangan-karangannya yang lain. Hal ini menjadi bukti bahwa mayoritas manusia telah sangat dangkal kesadarannya hingga ke dasar jurang, akalnya tertutup, motivasi agamanya amat lemah, demikian juga penghormatan terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam jiwa mereka. Kita memohon kepada Allah Al-Karim untuk merahmati dan menyelamatkan mereka dari bala' yang sedang mereka derita.

Sayyid katakan di halaman 53 dari sebuah pasal ‘visualisasi seni dalam Al-Qur'an', dia mengemukakan beberapa contoh pengisahan di dalam memberi komentar terhadap firman Allah subhanahu wa ta’ala:

"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan: 'Insyaa Allah'." (Al-Qalam : 17-18)

((Mereka telah memutuskan untuk memetik buahnya di pagi hari tanpa menyisihkan sedikitpun untuk orang-orang miskin. Marilah kita meninggalkan mereka dengan keputusan mereka, untuk melihat apa yang terjadi sekarang di gulita malam, di mana mereka tersembunyi dan tidak nampak di atas panggung. Lalu tiba-tiba apakah yang dilihat oleh para penonton?? Terjadi perampasan dan gerakan tersembunyi laksana gerakan bayangan di kegelapan:

“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dan Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita." (Al-Qalam : 19-20)

Saat itu…..Inilah mereka yang berpagi-pagi bangun, sementara mereka tidak mengetahui apa yang telah menimpa kebun mereka di kegelapan malam:

"Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: 'Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya'. Maka pergilah mereka saling berbisik. 'Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu'." (Al-Qalam : 21-24)

Hendaklah para penonton menahan lidahnya[14], jangan memberitahukan para pemilik kebun tersebut akan apa yang telah menimpa kebun mereka, serta hendaklah para penonton menyembunyikan tawa geli yang hampir meletup dari mereka tatkala melihat para pemilik kebun telah tertipu, saling memanggil dengan berbisik-bisik agar kaum faqir miskin tidak ikut serta. Hendaklah mereka menyembunyikan tawa ejekan, akan tetapi…. lepaskanlah tawa! Inilah pengundang tawa yang terbesar……

Inilah mereka yang kaget!! Silakan para penonton tertawa sekehendak hati:
"Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: 'Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan)……’." (Al-Qalam : 26) ))

Dia katakan di tempat yang lain halaman 189:
((Demikian kita para penonton masih terus tertawa mengejek mereka, sementara mereka saling memanggil dan berbisik, padahal kebun telah kosong laksana hangus. Sampai akhirnya nampaklah bagi mereka rahasia yang tersembunyi, setelah kita kenyang mengejek:

"Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dan memperoleh hasilnya)"." (Al-Qalam : 26-27) ))

Saya katakan : Apa keterlibatan sandiwara dan penonton juga campur tangan tawa serta ejekan terhadap tafsir ayat-ayat mulia ini yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk diambil pelajaran dan nasihat darinya?!

Apa motivasinya membawa jatuh Kitabullah ke dalam limbah penafsiran yang sangat aneh ini?!

Kalau Sayyid Quthb mempunyai hobi yang hendak dia lakukan, seharusnya dia mencari medan yang pas untuk mempraktikkan hobinya itu, seperti kisah dan pertunjukan yang sesuai dengan selera akhlak para penonton yang tidak mempunyai pekerjaan berguna itu.

Pada sandiwara ini ada kedustaan, sebab Sayyid Quthb dan orang semasanya mempunyai jarak abad yang sangat jauh dengan kejadian para pemilik kebun itu, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan "kita para penonton masih terus tertawa mengejek mereka", yakni mereka melihat para pemilik kebun?? Inilah ihwal sandiwara dan pertunjukan (yaitu: kebohongan).

Ini adalah bahasa tukang cerita yang tidak mempunyai kegiatan berguna dan kehidupannya larut dalam kebatilan panggung sandiwara dan film. Bukan bahasa Al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab yang telah turun kepada Rasul yang paling afdlal untuk memberikan hidayah kepada manusia.

Pada halaman 186 sub bab keistimewaan seni dalam kisah, dia katakan: [Sesekali terbuka sebagian rahasia atas penonton sedangkan ia masih tersembunyi bagi sang tokoh, sedang di kali lain tersembunyi bagi penonton sekaligus bagi tokoh dalam satu kisah.

Misalnya, singgasana Balqis yang didatangkan dalam sekejap mata. Kita telah mengetahui bahwa ia sudah berada di hadapan Sulaiman sewaktu Balqis masih tidak tahu apa yang telah kita ketahui itu:

"Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: 'Seperti inikah singgasanamu?' Dia menjawab: 'Seakan-akan singgasana ini singgasanaku'." (An-Naml : 42)

Ini sebuah kejutan yang telah kita ketahui rahasianya lebih dulu.

Akan tetapi kejutan istana licin yang terbuat dari kaca sebelumnya masih tersembunyi bagi kita juga bagi Balqis, sehingga tiba-tiba kita dan Balqis dikagetkan dengan rahasianya, tatkala:

"Dikatakan kepadanya: 'Masuklah ke dalam istana'. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya." (An-Naml : 44)

Demikianlah dia menafsirkan kalimat mulia ini dengan kedustaan. Ini buah pahit dari bergantung mengandalkan seni dan keterlepasan dari aqidah yang dianggapnya sebagai belenggu. Manakah hubungan antara Kalamullah dengan sandiwara yang menjadikan bohong sebagai salah satu rukunnya yang harus ada serta tidak dirakit kecuali oleh para pendusta, buktinya:

1. Apakah Sayyid Quthb termasuk di antara mereka yang hadir menyaksikan ketika itu dan apakah dia mengetahui datangnya singgasana Balqis ke hadapan Sulaiman sebelum Balqis tahu?? Dan siapakah para penonton itu?? Apakah pemeran utama ini laki-laki atau perempuan?? Begitulah seterusnya hingga akhir komedi yang dengannya Sayyid Quthb menafsirkan Kalamullah atas nama seni yang dalam pandangan Sayyid sekelas dengan Dien. Apakah benar kalau ini adalah keistimewaan seni dalam Al-Qur'an??

Dia katakan di halaman 187:
((Keistimewaan seni yang ketiga yang terdapat dalam pertunjukan kisah ini ialah jeda yang terdapat antara satu visualisasi kepada visualisasi selanjutnya, yaitu pembagian babak, di mana dilakukan oleh sandiwara panggung masa kini dengan menurunkan layar juga perfilman modern dengan berganti seri. Di mana di antara setiap seri ada tenggang waktu yang dipenuhi dengan khayalan dan dinikmati dengan menegakkan jembatan penghubung antara satu serial dengan yang selanjutnya. Inilah metode yang jadi patokan dalam semua kisah-kisah Al-Qur'an)).

Kami katakan : Maha Suci Allah, ini sebuah kedustaan besar, sangat jauhlah Kitabullah dari apa yang dilekatkan oleh laki-laki ini. Apakah engkau akan menafsirkan Kitabullah dengan seni-seni yang kacau ini, hasil produksi para komunis dan orang-orang fasiq Barat??

Lalu Sayyid Quthb menyambung penafsirannya terhadap ayat-ayat Allah yang mulia di surat Yusuf dengan cara penayangan film, sesekali dengan mengangkat layar lalu di kali lain menurunkannya dalam beberapa putaran yang dia menamainya 'adegan'. Dia katakan "Padanya ada 28 seri tontonan". Setelah itu dia menyebutkan sebagian, sedangkan bagian lain menurut pandangannya sesuai dengan semua kaidahnya yang bathil.[*]

Lalu dia berkata: ((Berjalan kisah Ashhabul kahfi, Maryam, dan Sulaiman atas satu metode yang sama, kami akan memaparkannya dengan terperincinya di poin berikut)).

Diapun menyebutkan kisah Ashhabul kahfi dalam beberapa adegan, menurunkan dan mengangkat layar, mengisyaratkan kepada kisah para pemilik kebun, pemandangan Ibrahim dan Ismail di depan Ka'bah, serta Nuh di hadapan air bah semuanya itu dalam pandangannya berada pada satu alur. Demikianlah Sayyid menerapkan berbagai seni jahiliah Barat terhadap Kitabullah yang agung, Maha Tinggi dan Suci Yang telah menurunkannya lalu berfirman tentangnya:

"Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dan belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Tang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji" (Fushshilat : 42)

Di halaman 195-199, dia menyebutkan kisah Maryam di surat Maryam, membaginya dalam beberapa episode sesuai dengan cara sandiwara, padanya ada sela-sela waktu, kejutan, penurunan layar, sampai ia berkata di halaman 199: ((Andaikan kami belum mencoba sebelumnya, maka tentu kaki kami akan meloncat kaget atau sungguh kami akan bergadang semalaman dikarenakan terkejut ataupun benar-benar kami akan bengong/ mengangakan mulut keheranan. Akan tetapi kami telah mencobanya, maka silakan mata kami mengalirkan air mata sebab tergetar dan silakan telapak tangan kami bertepuk karena takjub. Kemudian di tenggang waktu ini layar diturunkan, sementara air mata mengalir mengharapkan kemenangan dan tangan bersuara dengan tepukan.))

Inilah keistimewaan-keistimewaan seni yang tidak diraih oleh orang-orang sebelum Sayyid Quthb dari kalangan para shahabat, tabi'in, serta seluruh ahli tafsir, sedangkan Sayyid Quthb "sangat beruntung" menemukan dan menggapainya. Lalu Sayyid Quthb bermulut besar "Tidak akan sempurna keindahan dan kemu'jizatan bahasa kecuali dengannya."

2. Apakah para shahabat, tabi'in, atau seluruh kaum muslimin, bahkan orang-orang bodoh dan fasiq dari kalangan muslimin semuanya bertepuk tangan sewaktu mendengarkan Al-Qur'an?!

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyifati kaum mukmin dan menjelaskan keadaan mereka ketika mendengarkan Al-Qur'an:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri." (As-Sajdah : 15)

Ayat-ayat yang menjelaskan tergetarnya hati seorang mukmin tatkala mendengarkan Al-Qur'an banyak, hal itu sesuai dengan kemuliaan Al-Qur'an. Pengaruh positif yang terpuji inilah yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia ridlakan untuk para hamba-Nya, bukannya tawa dan tepuk tangan yang dimaksudkannya……. hingga akhir ucapan Sayyid Quthb yang berisi cerita jenaka, kesia-siaan, dan bermain-main.

______________________


[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 79-94; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]