Dia katakan dalam buku At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an halaman 200-205:
(("Sebelum ini kita telah memaparkan kisah dan pemilik dua kebun dengan temannya dan kisah Musa dengan gurunya, pada keduanya ada perumpamaan yang terlihat jelas. Contoh-contoh berdasarkan visualisasi warna inilah adanya seluruh kisah Al-Qur'an. Itulah ciri yang nampak pada kisah-kisahnya, yakni ciri seni yang murni. Ia sendiri menjadi tujuan dari kisah-kisah seni bebas. [4]
Inilah kisah Qur'ani yang arah utamanya adalah da'wah keagamaan. Ia (Al-Qur'an) dengan cerdik memiliki ciri ini dalam perjalanannya lalu tampil jelas dalam semua kisahnya. Dia melukiskan beberapa figur kemanusiaan melalui para pemeran yang melewati batas-batas kepribadian maknawi kepada kepribadian percontohan.
(("Sebelum ini kita telah memaparkan kisah dan pemilik dua kebun dengan temannya dan kisah Musa dengan gurunya, pada keduanya ada perumpamaan yang terlihat jelas. Contoh-contoh berdasarkan visualisasi warna inilah adanya seluruh kisah Al-Qur'an. Itulah ciri yang nampak pada kisah-kisahnya, yakni ciri seni yang murni. Ia sendiri menjadi tujuan dari kisah-kisah seni bebas. [4]
Inilah kisah Qur'ani yang arah utamanya adalah da'wah keagamaan. Ia (Al-Qur'an) dengan cerdik memiliki ciri ini dalam perjalanannya lalu tampil jelas dalam semua kisahnya. Dia melukiskan beberapa figur kemanusiaan melalui para pemeran yang melewati batas-batas kepribadian maknawi kepada kepribadian percontohan.
Kami akan menampilkan beberapa kisah secara global, setelah itu memberikan perincian untuk sebagiannya:
1. Kita ambil Musa. Dia adalah contoh seorang pemimpin yang temperamental, fanatik kesukuan, dan labil.
Inilah dia, dibesarkan dalam istana Fir'aun, di bawah pendengaran dan penglihatannya, akhirnya menjadi seorang pemuda yang kuat [5]:
"Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu." (Al-Qashash :15)
Di sini tampak sikap fanatik kesukuan dan emosional. Maka dengan segera percikan api fanatik kesukuan menyala membakar jiwanya, layaknya kebiasaan para ahli fanatik lainnya [6]:
“Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhan-nya).’ Musa berdo’a: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku’. Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (Al-Qashash :15-17)
"Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." (Al-Qashash :18)
Ini adalah sebuah pengungkapan tentang keadaan yang sudah dikenal baik: keadaan gugup, kehilangan konsentrasi, dan takut akan bahaya yang akan menimpa pada segala tindak-tanduknya. Ini juga ciri dari para ahli fanatisme.
Walau demikian, walaupun dia telah berjanji untuk tidak membantu para pelaku kejahatan, namun marilah kita lihat apa yang dilakukannya ………. Dia melihat:
“Maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa Berkata kepadanya.” (Al-Qashash:18) Yakni kali selanjutnya terhadap laki-laki lain.
"Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)’." (Al-Qashash:18)
Akan tetapi dia bermaksud menimpakan kepad laki-laki kedua ini sebagaimana yang telah dilakukannya kemarin. Ta’ashub (fanatik kesukuan) dan emosionalnya telah membuat dia lupa akan istighfar, penyesalan, takut, dan kekhawatiran kemarin, jika saja tidak diingatkan oleh calon korbannya dari tindakannya tersebut, sehingga diapun teringat dan takut. [7]
"Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: 'Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dan orang-orang yang mengadakan perdamaian." (Al-Qashash :19)
Maka ketika itulah datang seorang dari pinggiran kota dengan tergopoh-gopoh menasihatinya agar segera pergi, maka diapun pergi sebagaimana yang telah kita ketahui.
Marilah kita meninggalkannya di sini untuk kita bertemu kembali dalam fase kedua kehidupannya setelah sepuluh tahun. Barangkali dia sudah tenang dan menjadi seorang yang bertabiat stabil dan berjiwa santun. [8]
Tidak demikian! Inilah dia yang diteriaki di sisi kanan bukit Thursina "Lemparkan tongkatmu!", diapun melemparkannya, maka tiba-tiba tongkat itu menjadi ular yang bergerak. Begitu melihatnya, dia segera loncat berlari terbirit-birit tanpa berbalik ….. Dia masih pemuda yang fanatik itu. Andai saja dia telah menjadi seorang yang dewasa!!
Bahwa selainnya juga tentu akan takut, ya. Tapi kalau saja dia sekedar menjauh, setelah itu berhenti memikirkan keajaiban yang sangat besar ini.[9]
Kembali marilah kita meninggalkannya sementara untuk melihat apakah yang diperbuat oleh zaman terhadap urat-urat syarafnya.
Dia telah menang melawan para penyihir, menyelamatkan bani Israil dengan membawa mereka menye-berangi lautan, setelah itu dia pergi untuk memenuhi perjanjian dengan Rabbnya, serta benar dia adalah seorang nabi. Namun, inilah dia yang meminta kepada Rabbnya sebuah permintaan yang sangat mengherankan:
"Berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, nampakkanlah (din Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau'. Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku'." (Al-A'raaf :143)
Lalu terjadilah apa yang tidak sanggup dipikul oleh urat syaraf manusia, bahkan tidak juga oleh urat syaraf Musa [10]:
"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman"." (Al-A'raaf:143)
Kembalinya syaraf dan emosi dengan cepat.
Kemudian, inilah dia kembali lagi, lantas dia mendapatkan kaumnya telah mengambil patung anak sapi sebagai ilah sesembahan, sementara di kedua tangannya ada lembaran-lembaran yang telah Allah subhanahu wa ta’ala wahyukan kepadanya, maka tanpa tanggung-tanggung dan tidak pula lemah:
"Dan Musapun melemparkan lauh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya." (Al-A'raaf:150)
Begitulah dia berlaku emosional menarik rambut dan jenggot saudaranya tanpa mau mendengarkan sepatah katapun darinya:
"Harun menjawab: 'Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): Kamu telah memecah antara Bani lsrail dan kamu tidak memelihara amanatku." (Thaahaa : 94)
Ketika dia telah mengetahui bahwasanya Samiri-lah dalang perbuatan tersebut, maka dia berpaling kepadanya dengan kemurkaan dan bertanya kepadanya dengan nada tinggi, tatkala telah mengetahui teka-teki di balik patung anak sapi itu:
"Berkata Musa: 'Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: 'Janganlah menyentuh (aku)'. Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)." (Thaahaa : 97)
Demikianlah kobaran emosi yang sangat terlihat dan perilaku yang penuh ketegangan [11]. Mari kita meninggalkannya hingga beberapa tahun kemudian.
Kaumnya telah pergi dalam kesesatan, menurut sangkaan kami dia sudah menjadi seorang tua tatkala berpisah dengan kaumnya. Dia menemui sang lelaki tersebut (Khidhir) yang dimintainya agar sudi untuk diikuti semoga dia mengajarkannya ilmu yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa Musa tidak sanggup bersabar sampai Khidhir memberitahukannya rahasia yang terdapat dalam perbuatan yang Khidhir lakukan, kali pertama, kedua, dan ketiga, akhirnya mereka berdua berpisah ……….
Itulah kepribadian yang menyatu sangat jelas dan contoh kemanusiaan yang terang dalam semua tahapan kisah. [12]
2. Berlawanannya kepribadian Musa dan Ibrahim ………….. Ini adalah contoh ketenangan, pemaaf, dan santun:
"Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah." (Huud : 75)
Inilah dia ketika kecilnya menyendiri dalam proses berpikirnya, mencari tentang Ilahnya:
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal Sesungguhnya Allah Telah memberi petunjuk kepadaku". dan Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?" (Al-An’am: 76-80)
Tidak lama setelah dia mencapai keyakinan Ini, maka diapun berusaha dengan baik dan penuh rasa kasih sayang menunjuki ayahnya dengan lafazh yang terindah dan paling hidup:
“Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya Telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (Maryam: 42-45)
Hanya saja ayahnya mengingkari perkataannya dan membalas dengan ucapan yang kasar disertai dengan ancaman keras:
"Berkata bapaknya: 'Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama'." (Maryam : 46)
Sikap kasar itu tidaklah membuat dia keluar dari adab yang tinggi, tabiatnya yang penuh kasih sayang, serta tidak membuatnya bercuci tangan dari ayahnya:
"Berkata Ibrahim: 'Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, serta aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo'a kepada Tuhanku'." (Maryam : 47-48)
Lalu, inilah dia yang menghancurkan patung-patung mereka. Mungkin ini satu-satunya tindak kekerasan yang pernah dilakukannya. Hanya saja yang memotivasinya melakukan tindakan ini ialah kecintaan yang demikian besar diiringi harapan bahwa kaumnya akan beriman ketika melihat sesembahan mereka telah hancur berantakan, kala mereka telah mengetahui bahwa sesembahan itu tidak sanggup untuk membela diri mereka sendiri. Memang benar, hampir saja mereka benar-benar beriman, tatkala itu:
"Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: 'Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orangyang menganiaya (din sendiri)'." (Al-Anbiyaa': 64)
Namun mereka kembali (pada ketidaksadaran lagi), lalu bermaksud untuk membakar Ibrahim, maka ketika itu:
"Kami berfirman: 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim'." (Al-Anbiyaa': 69)
Ibrahim telah meninggalkan mereka dalam jangka waktu yang panjang bersama dengan sekelompok manusia yang juga beriman, di antaranya; sepupu beliau Luth ………))
Tampak jika maksud Sayyid Quthb menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alahis sallam secara berlawanan dengan gambarannya tentang Nabi Musa ‘alahis sallam adalah untuk menegakkan kaidah "Melalui lawannya, maka sesuatu itu akan menjadi jelas". Bahkan dia dengan terang-terangan mengatakan pertentangan yang dia maksudkan
ini.
Setelah itu dia juga membenturkannya dengan Yusuf ‘alahis sallam, dia berkata: "Sedangkan Yusuf adalah contoh seorang laki-laki yang berkesadaran tinggi lagi kokoh". Sayyid Quthb memaksudkan kalau Musa ‘alahis sallam sebaliknya dalam hal ini. Dia mengulang-ulangi menyifatkan Yusuf dengan kesadaran tinggi dan teguh di tengah-tengah dia menjelaskan kisahnya untuk menguatkan maksudnya, demikianlah keadaan Yusuf ‘alahis sallam dan demikian pulalah kondisi Musa ‘alahis sallam.
Namun yang benar ialah: beliau Musa ‘alahis sallam mempunyai kedudukan yang agung lagi tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala yang mewajibkan atas manusia untuk memuliakan dan mengagungkannya layaknya seluruh para Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentangnya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (Al-Ahzab : 69)
"Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)." (Thaahaa:13)
Sebenarnya cukuplah bagi Sayyid untuk membaca hadits-hadits tentang para nabi di kitab Shahih Al-Bukhari, agar dapat mengetahui jika dia telah melampaui batas, melenceng, melayang jauh dalam khayalannya yang membawa terbang, metode pengisahannya yang menjelekkan, serta perumpamaan yang dia lekatkan berupa; temperamental, fanatik suku, kasar, suka gugup, dan tegang kepada Kalimullah dan Rasul-Nya Musa ‘alahis sallam.
Imam Al-Bukhari rahimahullah telah mengeluarkan dalam Shahih-nya dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam membagikan pembagian, lalu seseorang berkomentar "Sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak diinginkan dengannya Wajah Allah subhanahu wa ta’ala". Saya pun menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan melaporkannya, maka Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam murka. Saya melihat kemarahan tampak pada wajahnya, lalu Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Musa ‘alahis sallam. Sesungguhnya dia telah disakiti lebih dari ini dan dia bersabar."
Sesungguhnya apa yang dinisbatkan oleh Sayyid kepada Kalimullah dan Nabi-Nya Musa ‘alahis sallam itu menafikan apa yang seharusnya beliau ‘alahis sallam dapatkan berupa penghormatan dan pemuliaan. Ini adalah perkara yang membuat berdiri bulu kuduk, serta hukum dari perbuatan berbahaya ini sangat besar dan berat di sisi para ulama. Silakan merujuk kepada kitab Asy-Syifa' karya Qadhi 'Iyadh rahimahullah dan Ash-Sharimil Maslul 'Ala Syatimir Rasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
__________________________
[4] Apakah yang dia maksud dengan kisah seni bebas??
[5] Kita tidak tahu, apakah Sayyid Quthb telah melupakan pemuliaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Nabi-Nya Musa ‘alahis sallam dalam firman-Nya: Lalu dia mengatakan ucapannya ini, ataukah dia pura-pura lupa agar dapat selaras dengan ejekannya terhadap Nabi ini??
[6] Lihatlah bagaimana celaannya kepada Nabiyullah Musa ‘alahis sallam dalam komentarnya ini. Sikap fanatik kesukuan tercela, sifat temperamental tercela, tapi ucapannya 'sebagaimana kebiasaan para ahli fanatisme' sungguh adalah puncak celaan.
[7] Tidak demikian, tidak ada ta'ashub atau emosional, Musa ‘alahis sallam tidaklah lupa akan apa yang telah dia katakan, di mana beliau 'alahis sallam tetap tidak menjadi penolong bagi pelaku kejahatan.
[8] Ini benar-benar puncak celaan dan penistaan. Artinya beliau ‘alahis sallam tidak mempunyai ketenangan dan sikap santun, bankan beliau ‘alahis sallam mempunyai sifat yang berlawanan dengan keduanya menurut Sayyid Quthb.
[9] Di sini juga ada celaan yang sangat buruk dan olokan terhadap Nabi yang mulia ini.
[10] Terkandung celaan dan penghinaan yang luar biasa. Artinya penyakit syaraf yang diderita oleh Musa ‘alahis sallam tidak ada yang menandinginya. (Menurut Sayyid)
[11] Lihatlah, betapa jahat tikamannya di dalam lembaran bukunya ini. Demi Allah, andaikan celaan dan penghinaan ini diarahkan kepada manusia yang paling hina sekalipun, maka tentu semua itu akan diingkari dan dianggap buruk oleh para cendekiawan mulia. Sementara kalimat itu dengan sangat kurang ajar justru ditujukan kepada seorang Rasul mulia, seorang pembesar para rasul, dan termasuk Ulul 'azmi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk mengambil keteladanan dalam kesabaran dari mereka:
"Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar." (Al-Ahzab: )
[12] Dalam semua yang telah lalu ada celaan buruk terhadap Nabi mulia ini, hendaklah pembaca mengingat ucapan Sayyid Quthub secara terang-terangan bahwa 'Tidak ada aqidah keagamaan yang membelenggunya dari pemikiran'. Inilah hasil keterlepasannya dari aqidah Islam tentang Musa ‘alahis sallam dan selainnya, serta juga tentang Al-Qur'an itu sendiri.
[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 50-66; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
1. Kita ambil Musa. Dia adalah contoh seorang pemimpin yang temperamental, fanatik kesukuan, dan labil.
Inilah dia, dibesarkan dalam istana Fir'aun, di bawah pendengaran dan penglihatannya, akhirnya menjadi seorang pemuda yang kuat [5]:
"Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu." (Al-Qashash :15)
Di sini tampak sikap fanatik kesukuan dan emosional. Maka dengan segera percikan api fanatik kesukuan menyala membakar jiwanya, layaknya kebiasaan para ahli fanatik lainnya [6]:
“Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhan-nya).’ Musa berdo’a: ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku’. Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (Al-Qashash :15-17)
"Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)." (Al-Qashash :18)
Ini adalah sebuah pengungkapan tentang keadaan yang sudah dikenal baik: keadaan gugup, kehilangan konsentrasi, dan takut akan bahaya yang akan menimpa pada segala tindak-tanduknya. Ini juga ciri dari para ahli fanatisme.
Walau demikian, walaupun dia telah berjanji untuk tidak membantu para pelaku kejahatan, namun marilah kita lihat apa yang dilakukannya ………. Dia melihat:
“Maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa Berkata kepadanya.” (Al-Qashash:18) Yakni kali selanjutnya terhadap laki-laki lain.
"Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)’." (Al-Qashash:18)
Akan tetapi dia bermaksud menimpakan kepad laki-laki kedua ini sebagaimana yang telah dilakukannya kemarin. Ta’ashub (fanatik kesukuan) dan emosionalnya telah membuat dia lupa akan istighfar, penyesalan, takut, dan kekhawatiran kemarin, jika saja tidak diingatkan oleh calon korbannya dari tindakannya tersebut, sehingga diapun teringat dan takut. [7]
"Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: 'Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dan orang-orang yang mengadakan perdamaian." (Al-Qashash :19)
Maka ketika itulah datang seorang dari pinggiran kota dengan tergopoh-gopoh menasihatinya agar segera pergi, maka diapun pergi sebagaimana yang telah kita ketahui.
Marilah kita meninggalkannya di sini untuk kita bertemu kembali dalam fase kedua kehidupannya setelah sepuluh tahun. Barangkali dia sudah tenang dan menjadi seorang yang bertabiat stabil dan berjiwa santun. [8]
Tidak demikian! Inilah dia yang diteriaki di sisi kanan bukit Thursina "Lemparkan tongkatmu!", diapun melemparkannya, maka tiba-tiba tongkat itu menjadi ular yang bergerak. Begitu melihatnya, dia segera loncat berlari terbirit-birit tanpa berbalik ….. Dia masih pemuda yang fanatik itu. Andai saja dia telah menjadi seorang yang dewasa!!
Bahwa selainnya juga tentu akan takut, ya. Tapi kalau saja dia sekedar menjauh, setelah itu berhenti memikirkan keajaiban yang sangat besar ini.[9]
Kembali marilah kita meninggalkannya sementara untuk melihat apakah yang diperbuat oleh zaman terhadap urat-urat syarafnya.
Dia telah menang melawan para penyihir, menyelamatkan bani Israil dengan membawa mereka menye-berangi lautan, setelah itu dia pergi untuk memenuhi perjanjian dengan Rabbnya, serta benar dia adalah seorang nabi. Namun, inilah dia yang meminta kepada Rabbnya sebuah permintaan yang sangat mengherankan:
"Berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, nampakkanlah (din Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau'. Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku'." (Al-A'raaf :143)
Lalu terjadilah apa yang tidak sanggup dipikul oleh urat syaraf manusia, bahkan tidak juga oleh urat syaraf Musa [10]:
"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman"." (Al-A'raaf:143)
Kembalinya syaraf dan emosi dengan cepat.
Kemudian, inilah dia kembali lagi, lantas dia mendapatkan kaumnya telah mengambil patung anak sapi sebagai ilah sesembahan, sementara di kedua tangannya ada lembaran-lembaran yang telah Allah subhanahu wa ta’ala wahyukan kepadanya, maka tanpa tanggung-tanggung dan tidak pula lemah:
"Dan Musapun melemparkan lauh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya." (Al-A'raaf:150)
Begitulah dia berlaku emosional menarik rambut dan jenggot saudaranya tanpa mau mendengarkan sepatah katapun darinya:
"Harun menjawab: 'Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): Kamu telah memecah antara Bani lsrail dan kamu tidak memelihara amanatku." (Thaahaa : 94)
Ketika dia telah mengetahui bahwasanya Samiri-lah dalang perbuatan tersebut, maka dia berpaling kepadanya dengan kemurkaan dan bertanya kepadanya dengan nada tinggi, tatkala telah mengetahui teka-teki di balik patung anak sapi itu:
"Berkata Musa: 'Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: 'Janganlah menyentuh (aku)'. Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)." (Thaahaa : 97)
Demikianlah kobaran emosi yang sangat terlihat dan perilaku yang penuh ketegangan [11]. Mari kita meninggalkannya hingga beberapa tahun kemudian.
Kaumnya telah pergi dalam kesesatan, menurut sangkaan kami dia sudah menjadi seorang tua tatkala berpisah dengan kaumnya. Dia menemui sang lelaki tersebut (Khidhir) yang dimintainya agar sudi untuk diikuti semoga dia mengajarkannya ilmu yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kita tahu bahwa Musa tidak sanggup bersabar sampai Khidhir memberitahukannya rahasia yang terdapat dalam perbuatan yang Khidhir lakukan, kali pertama, kedua, dan ketiga, akhirnya mereka berdua berpisah ……….
Itulah kepribadian yang menyatu sangat jelas dan contoh kemanusiaan yang terang dalam semua tahapan kisah. [12]
2. Berlawanannya kepribadian Musa dan Ibrahim ………….. Ini adalah contoh ketenangan, pemaaf, dan santun:
"Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah." (Huud : 75)
Inilah dia ketika kecilnya menyendiri dalam proses berpikirnya, mencari tentang Ilahnya:
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal Sesungguhnya Allah Telah memberi petunjuk kepadaku". dan Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?" (Al-An’am: 76-80)
Tidak lama setelah dia mencapai keyakinan Ini, maka diapun berusaha dengan baik dan penuh rasa kasih sayang menunjuki ayahnya dengan lafazh yang terindah dan paling hidup:
“Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, Sesungguhnya Telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah aku, niscaya Aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha pemurah, Maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (Maryam: 42-45)
Hanya saja ayahnya mengingkari perkataannya dan membalas dengan ucapan yang kasar disertai dengan ancaman keras:
"Berkata bapaknya: 'Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama'." (Maryam : 46)
Sikap kasar itu tidaklah membuat dia keluar dari adab yang tinggi, tabiatnya yang penuh kasih sayang, serta tidak membuatnya bercuci tangan dari ayahnya:
"Berkata Ibrahim: 'Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, serta aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo'a kepada Tuhanku'." (Maryam : 47-48)
Lalu, inilah dia yang menghancurkan patung-patung mereka. Mungkin ini satu-satunya tindak kekerasan yang pernah dilakukannya. Hanya saja yang memotivasinya melakukan tindakan ini ialah kecintaan yang demikian besar diiringi harapan bahwa kaumnya akan beriman ketika melihat sesembahan mereka telah hancur berantakan, kala mereka telah mengetahui bahwa sesembahan itu tidak sanggup untuk membela diri mereka sendiri. Memang benar, hampir saja mereka benar-benar beriman, tatkala itu:
"Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: 'Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orangyang menganiaya (din sendiri)'." (Al-Anbiyaa': 64)
Namun mereka kembali (pada ketidaksadaran lagi), lalu bermaksud untuk membakar Ibrahim, maka ketika itu:
"Kami berfirman: 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim'." (Al-Anbiyaa': 69)
Ibrahim telah meninggalkan mereka dalam jangka waktu yang panjang bersama dengan sekelompok manusia yang juga beriman, di antaranya; sepupu beliau Luth ………))
Tampak jika maksud Sayyid Quthb menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alahis sallam secara berlawanan dengan gambarannya tentang Nabi Musa ‘alahis sallam adalah untuk menegakkan kaidah "Melalui lawannya, maka sesuatu itu akan menjadi jelas". Bahkan dia dengan terang-terangan mengatakan pertentangan yang dia maksudkan
ini.
Setelah itu dia juga membenturkannya dengan Yusuf ‘alahis sallam, dia berkata: "Sedangkan Yusuf adalah contoh seorang laki-laki yang berkesadaran tinggi lagi kokoh". Sayyid Quthb memaksudkan kalau Musa ‘alahis sallam sebaliknya dalam hal ini. Dia mengulang-ulangi menyifatkan Yusuf dengan kesadaran tinggi dan teguh di tengah-tengah dia menjelaskan kisahnya untuk menguatkan maksudnya, demikianlah keadaan Yusuf ‘alahis sallam dan demikian pulalah kondisi Musa ‘alahis sallam.
Namun yang benar ialah: beliau Musa ‘alahis sallam mempunyai kedudukan yang agung lagi tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala yang mewajibkan atas manusia untuk memuliakan dan mengagungkannya layaknya seluruh para Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentangnya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (Al-Ahzab : 69)
"Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)." (Thaahaa:13)
Sebenarnya cukuplah bagi Sayyid untuk membaca hadits-hadits tentang para nabi di kitab Shahih Al-Bukhari, agar dapat mengetahui jika dia telah melampaui batas, melenceng, melayang jauh dalam khayalannya yang membawa terbang, metode pengisahannya yang menjelekkan, serta perumpamaan yang dia lekatkan berupa; temperamental, fanatik suku, kasar, suka gugup, dan tegang kepada Kalimullah dan Rasul-Nya Musa ‘alahis sallam.
Imam Al-Bukhari rahimahullah telah mengeluarkan dalam Shahih-nya dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam membagikan pembagian, lalu seseorang berkomentar "Sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak diinginkan dengannya Wajah Allah subhanahu wa ta’ala". Saya pun menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan melaporkannya, maka Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam murka. Saya melihat kemarahan tampak pada wajahnya, lalu Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Musa ‘alahis sallam. Sesungguhnya dia telah disakiti lebih dari ini dan dia bersabar."
Sesungguhnya apa yang dinisbatkan oleh Sayyid kepada Kalimullah dan Nabi-Nya Musa ‘alahis sallam itu menafikan apa yang seharusnya beliau ‘alahis sallam dapatkan berupa penghormatan dan pemuliaan. Ini adalah perkara yang membuat berdiri bulu kuduk, serta hukum dari perbuatan berbahaya ini sangat besar dan berat di sisi para ulama. Silakan merujuk kepada kitab Asy-Syifa' karya Qadhi 'Iyadh rahimahullah dan Ash-Sharimil Maslul 'Ala Syatimir Rasul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
__________________________
[4] Apakah yang dia maksud dengan kisah seni bebas??
[5] Kita tidak tahu, apakah Sayyid Quthb telah melupakan pemuliaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Nabi-Nya Musa ‘alahis sallam dalam firman-Nya: Lalu dia mengatakan ucapannya ini, ataukah dia pura-pura lupa agar dapat selaras dengan ejekannya terhadap Nabi ini??
[6] Lihatlah bagaimana celaannya kepada Nabiyullah Musa ‘alahis sallam dalam komentarnya ini. Sikap fanatik kesukuan tercela, sifat temperamental tercela, tapi ucapannya 'sebagaimana kebiasaan para ahli fanatisme' sungguh adalah puncak celaan.
[7] Tidak demikian, tidak ada ta'ashub atau emosional, Musa ‘alahis sallam tidaklah lupa akan apa yang telah dia katakan, di mana beliau 'alahis sallam tetap tidak menjadi penolong bagi pelaku kejahatan.
[8] Ini benar-benar puncak celaan dan penistaan. Artinya beliau ‘alahis sallam tidak mempunyai ketenangan dan sikap santun, bankan beliau ‘alahis sallam mempunyai sifat yang berlawanan dengan keduanya menurut Sayyid Quthb.
[9] Di sini juga ada celaan yang sangat buruk dan olokan terhadap Nabi yang mulia ini.
[10] Terkandung celaan dan penghinaan yang luar biasa. Artinya penyakit syaraf yang diderita oleh Musa ‘alahis sallam tidak ada yang menandinginya. (Menurut Sayyid)
[11] Lihatlah, betapa jahat tikamannya di dalam lembaran bukunya ini. Demi Allah, andaikan celaan dan penghinaan ini diarahkan kepada manusia yang paling hina sekalipun, maka tentu semua itu akan diingkari dan dianggap buruk oleh para cendekiawan mulia. Sementara kalimat itu dengan sangat kurang ajar justru ditujukan kepada seorang Rasul mulia, seorang pembesar para rasul, dan termasuk Ulul 'azmi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diperintahkan untuk mengambil keteladanan dalam kesabaran dari mereka:
"Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar." (Al-Ahzab: )
[12] Dalam semua yang telah lalu ada celaan buruk terhadap Nabi mulia ini, hendaklah pembaca mengingat ucapan Sayyid Quthub secara terang-terangan bahwa 'Tidak ada aqidah keagamaan yang membelenggunya dari pemikiran'. Inilah hasil keterlepasannya dari aqidah Islam tentang Musa ‘alahis sallam dan selainnya, serta juga tentang Al-Qur'an itu sendiri.
[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 50-66; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
0 komentar:
Posting Komentar