Membantah Ushul yang dipegangi Sayyid Quthb dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Al Qur’an yang menjadi Ajang Praktik Ushul dan Teorinya

Sayyid Quthb telah membangun perbuatan fatalnya di dalam buku ini dan selainnya di atas dasar-dasar yang rusak lagi menghancurkan, yaitu:

1. Kaidah Tashwirul fanniy (visualisasi seni) dan rentetannya yang bersumber dari kaidah tersebut.

2. Keyakinan bahwa Dien dan seni setara.

Berpijak dari sini dan dari dasarnya ini, dia berpendapat bolehnya hasil gambar tangan beserta apa yang menyertainya berupa alat lukis/gambar dan medianya (papan, kanvas, kertas, dll). Dia telah meminta bantuan ahli gambar (tashwir) dalan pekerjaannya menyusun At-Tashwirul Fanniy Sesungguh-nya itu merupakan gambar yang diharamkan dan telah tersebut riwayat yang berisi laknat dan kecaman keras tentangnya.

Dari sini jugalah dia berpendapat bolehnya permainan musik dengan ragamnya, padahal ia diharamkan dan seburuk-buruk alat yang melalaikan (dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala). Dia telah menggunakan pula dalam perkerjaannya ini ahli musik, sebagaimana pernyataannya sendiri.

3. Keterlepasannya dari aqidah yang dia sendiri menegaskan: "Saya dengan terang-terangan mengatakan hakikat yang terakhir ini, juga menyatakan dengan gamblang bersamanya, bahwa dalam hal ini saya tidak tunduk pada aqidah religius yang membelenggu pikiranku dari pemahaman." (At-Tashwirul Fanniy hal. 255)

4. Dia berpegang pada pemikiran dalam apa yang telah dia tetapkan dari Al-Qur'an dan hakikat-hakikat lainnya, di mana dia katakan dalam bentuk kalimat pembelaan terhadap Al-Qur'an dan semua ketetapan-nya -berdasarkan pemahamannya-: "Saya dalam titik ini bukanlah pria agamis yang diikat oleh aqidah murni sehingga tidak bisa melakukan telaah bebas. Bahkan saya adalah pria pemikir yang menghormati akalnya daripada sifat kufur nikmat dan cerita berhiaskan kebohongan." (At-Tashwirul Fanniy, hal. 258)

Ternyata realitas tidak sama dengan sangkaannya. Dia justru banyak melakukan kekufuran dan membuat cerita berhiaskan kebohongan disebabkan keterlepasannya dari aqidah dan anggapannya akan pemikirannya. Dia mengulang-ulangi pengungkapan kemuliaan yang dirasakannya dengan kebebasan berpikir ini, lalu dia katakan di dalam Masyahidul Qiyamah fil Qur'an: "Ini bukan sama sekali kalimat yang berasal dari seorang laki-laki yang terkurangi dari kebebasan berpikir. Sesungguhnya saya berbangga dengan kalimat singkat yang pasti yang diungkapkan oleh professor peneliti besar ‘Abdul ‘Aziz Fahmi Basya yang menyifati arah pemikirannya ini: 'la memberikan semerbak kebebasan akal yang belum pernah kita dengarkan sebelumnya'."

Benarlah, 'Abdul 'Aziz Fahmi Basya berkata bahwa dia tidak pernah mendengarkan kebebasan yang semisal (gilanya) kebebasan Sayyid Quthb!!

5. Dalam pekerjaannya ini, dia tidak dikekang oleh suatu aqidah apapun dalam mempraktikkan kaidahnya yang rusak di atas nash-nash Al-Qur'an. Begitu pula dengan rentetan kaidah tersebut, berupa: pementasan teater, tontonan panggung, drama, gambar, musik dengan beragam jenisnya, pertunjukan di mana dia telah menjadikan mayoritas nash-nash Qur'ani sebagai panggung yang luas untuk inovasi Yahudi dan Nasrani, bahkan komunis demi merusak Dien dan akhlak.

6. Dia beranjak dari pemikiran dasar Jahmiyyah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah 'Dia adalah sumber mata air bid'ah' (yakni argumennya akan barunya (bukan azali) alam dengan barunya jasad dan juga argumennya akan barunya jasad dengan barunya unsur materi):
((Jahmiyah berkata: "Jasmani tidak terpisah dan unsur materi yang baru, sedangkan apa saja yang tidak terpisah dan yang baru atau apa saja yang tidak mendahului yang baru, maka dia juga baru)). (Lihat Minhajus Sunnah 1/112-113 cetakan lama)

Beliau juga katakan di tempat lain dalam Minhaj 1/403 cetakan baru: "Berargumen dengan cara ini mengakibatkan penafian sifat yang dimiliki Allah subhanahu wa ta’ala dan menyebabkan munculnya bid'ah Jahmiyyah yang telah dikenal oleh Salaf umat ini, serta memberikan bagi golongan dahriyyah [Golongan yang mengingkari adanya hari kebangkitan. (-pent.)] alasan terbesar untuk menyerang ajaran yang dibawa oleh para rasul dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Sayyid Quthb telah mengumpulkan kedua dasar yang rusak ini untuk menta'thilkan sifat istiwa' (bersemayam) Allah di atas Arsy-Nya dan sifat ketinggian-Nya di atas para makhluk. Dia katakan pada tafsir surat Yunus dalam Azh-Zhilal 3/1762 di pasal 'Imajinasi inderawi dan jasadi' halaman 71-72: "Ketika kita mengatakan bahwa tashwir (visualisasi) adalah sarana paling diutamakan dalam uslub (metode) Al-Qur'an serta kaidah utama dalam penjelasan, maka kita belum lagi selesai berbicara tentang pemandangan universal ini. Di mana sesungguhnya di belakang itu masih tersisa persoalan yang patut untuk kita pisahkan kedalam pasal khusus."

Kemudian dia menyambung menjelaskan pemikirannya yang bathil, dia katakan:

"Lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy."

(("Beristiwa' di atas Arsy, kalimat majazi untuk mengungkapkan posisi kekuasaan yang tertinggi, teguh, dan kokoh dengan bahasa yang difahami oleh manusia. Lalu tergambar dengannya makna-makna sesuai cara Al-Qur'an dalam memberikan gambaran. Sebagaimana yang telah kami rincikan dalam pasal Imajinasi inderawi dan jasadi' dalam buku At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an.")) (Fi Zhilalil Qur'an 3/1762)

Dia katakan dalam Azh-Zhilal sewaktu menafsirkan surat Thaahaa 4/2328: "Beristiwa' di atas 'Arsy adalah ungkapan majazi tentang puncak kekuasaan dan ketinggian."

Dalam tafsir surat Al-Furqan dalam Azh-Zhilal 5/2807, ia berkata:

"Lalu Dia beristiwa' di atas 'Arsy."

"Beristiwa di atas Arsy: simbol ketinggian-Nya di atas seluruh makhluk. Adapun Arsy itu sendiri maka tidak ada celah untuk mengatakan sesuatu tentangnya, namun harus berhenti pada lafazhnya. Berbeda dengan kata istiwa', yang nampak ini adalah ungkapan majazi tentang ketinggian. Sedangkan lafazh 'lalu' secara pasti tidak mungkin bermakna berurutannya waktu, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengalami keadaan yang berubah-ubah, tidak mungkin Dia subhanahu wa ta’ala berada dalam suatu keadaan lalu berada pada keadaan yang lain. Namun yang dimaksudkan di sini hanyalah urutan maknawi: 'Lalu ketinggian adalah derajat di atas makhluk', ini diungkapkan dalam bentuk kalimat seperti itu."

Kemudian, dia mengulang-ulangi kata 'ketinggian' dan 'kekuasaan' dalam bentuk kalimat yang menunjukkan bahwa dia tidak mengakui adanya Arsy sebagai makhluk yang Ar-Rahman beristiwa' di atasnya, sebagaimana dia telah menyebutkannya berulang-ulang yang sebagiannya kian menegaskan yang lain.

Tafsir surat Ar-Ra'd dalam Zhilalil Qur'an 4/ 2044-2045, ia katakan: "Dari pemandangan yang luar biasa ini, di mana manusia dapat melihatnya hingga kepada keluarbiasaan yang jauh tersembunyi yang tidak sanggup untuk dicapai oleh semua pandangan mata dan pemahaman:

"Lalu Dia beristiwa' di atas Arsy."

"Jikalau ia adalah ketinggian maka ini yang tertinggi dan seandainya ia adalah keagungan maka ini yang teragung, yakni ketinggian mutlak yang Dia gambarkan dalam bentuk wujud berdasarkan cara Al-Qur'an di dalam memberikan pendekatan tentang persoalan-persoalan yang mutlak bagi kemampuan pemahaman manusia yang terbatas. Ini juga merupakan sentuhan keluarbiasaan selanjutnya dari goresan-goresan pensil mu'jizat, sentuhan tentang ketinggian mutlak di samping sentuhan pertama tentang ketinggian yang dapat dilihat, keduanya berdampingan dan bersatu di dalam satu ungkapan. Serta dari ketinggian mutlak kepada penundukan/ pengendalian……"

Dalam surat Al-Hadiid di dalam Azh-Zhilal 6/ 3480, ia katakan: "Dan demikian juga dengan 'Arsy, kita beriman kepadanya sebagaimana yang Dia sebutkan sementara kita tidaklah mengetahui hakikatnya. Adapun beristiwa' di atas 'Arsy, maka kita sanggup untuk berkata bahwa 'la adalah ungkapan kiasan tentang kekuasaan di atas seluruh makhluk', ini berdasarkan apa yang kita ketahui dari Al-Qur'an secara yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah berubah-ubah keadaan-Nya. Tidak mungkin Allah awalnya tidak beristiwa' di atas 'Arsy lalu setelah itu beristiwa'. Pendapat lain: "Kita beriman kepada istiwa' namun kita tidak mencapai ziyyat (gambaran bagaimana)-nya". Pendapat ini tidak menafsirkan:

"Lalu Dia beristiwa' di atas Arsy."

Hanya saja, lebih utama kita katakan "la adalah kata kiasan dari kekuasaan", sebagaimana yang telah kita sebutkan. Takwil di sini tidak keluar dari metode yang kita sebutkan tadi, karena ia tidak bersumber dan ketetapan-ketetapan yang berasal dari diri kita sendiri, bahkan ia bersandar kepada ketetapan-ketetapan Al-Qur'an sendiri dan gambaran yang diwahyukannya tentang Dzat Allah subhanahu wa ta’ala juga sifat-sifat-Nya."

Pembaca dapat melihat Sayyid Quthb menakwilkan sifat istiwa' dan ketinggian di manapun letaknya (dalam Al-Qur'an) dengan penafsiran Jahmiyyah ini. Dia juga membangun tafsirnya di atas kaidah Jahmiyyah sang sumber bid'ah. Lantas dia menguatkannya dengan kaidah yang dia buat dalam 'Visualisasi seni' dan ekornya 'Mengkhayalkan dan melahirkan dalam bentuk jasadi'. Kaidah ini juga merupakan sumber lain dari bid'ah-bid'ah yang buruk dan telah dia ukir dalam bukunya; At-Tashwirul Fanniy, Al-Masyahid, dan Azh-Zhilal.

Ucapannya: "Takwil di sini tidak keluar dari metode yang kita sebutkan tadi, karena ia tidak bersumber dari ketetapan-ketetapan yang berasal dari diri kita sendiri, bahkan ia bersandar kepada ketetapan-ketetapan Al-Qur'an sendiri."

Ini perkataan batil, ia sama sekali tidak bersandar kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur'an. Namun justru bersandar kepada ketentuan-ketentuan sebelumnya yang bersumber dari filosofi Jahmiyyah sesat, di mana mereka meneguknya dari buku-buku ahli bid'ah lagi sesat dan filosofi kelompok sufi ekstrem yang telah membawa mereka dan diri Sayyid sendiri sampai kepada ajaran wihdatul wujud [Reinkarnasi atau istilah jawanya 'Manunggaling kawula Gusti', (keyakinan yang menyatakan bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). (-Penerbit)]. Kemudian dia menguatkan hal itu dengan filosofi barunya yang dia ambil dari peranan bioskop dan panggung sandiwara beserta apa yang mengikuti dan bersumber darinya, berupa; tontonan, pertunjukan, serta teori, kaidah-kaidah visualisasi, dan dasar-dasar berbagai bidang seni perfilman yang telah dia praktikkan atas Al-Qur'an dengan segala kebiadaban/keberanian.

Sayyid Quthb dalam hal pengaburan dan menimbulkan kerancuan mempunyai bandingan, ketika dia men-ta'thil [2] sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mengatakan semisal ucapan di atas dan sewaktu dia menghina para shahabat radhiyallahu ‘anhum dia katakan 'Saya bukanlah kaum Syi'ah', sebagaimana yang dikatakannya dalam Kutub wasy Syakhsiyyat.

Para pengikut Sayyid Quthb telah mengambil pelajaran darinya berupa cara seperti ini, di mana mereka memerangi manhaj dan pembela Salaf, setelah itu mengaku-ngaku sebagai orang-orang salafi. Mereka juga menempuh jalannya dalam memberikan pengakuan palsu dan pengaburan. Hati mereka serupa dan arwah itu berkelompok-kelompok, maka apa yang sejalan ia pun bersatu dan apa yang tidak sehati ia pun berselisih. Jiwa mereka telah bersimpangan dengan jiwa para salafiyyin, serta jiwa mereka telah bersatu dengan jiwa Sayyid Quthb dan lain semisalnya.

7. Sangat berlebihannya dalam memberikan penilaian bagi perfilman, seni peran, dan musik, sehingga jadilah seni dan Dien sebagai dua hal yang sepadan (sederajat) bagi Sayyid Quthb, sebagaimana yang dia katakan pada halaman 143-144 dalam buku At-Tashwirul Fanniy dan halaman 231-232 pada Al-Masyahid:"Dien dan seni adalah dua hal yang sepadan di kedalaman jiwa dan penegasan indera. Sementara tercapainya keindahan seni menjadi rambu adanya kesiapan untuk menerima pengaruh keagamaan [3], ketika seni naik ke tingkat setinggi ini dan ketika jiwa menjadi jernih untuk menerima misi keindahan itu".

Dalam keyakinan batil ini ada kedustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Dien Islam dalam semua misi kerasulan merupakan syari'at Allah subhanahu wa ta’ala Rabb alam semesta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ha yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (Asy-Syuura: 13)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut'." (An-Nahl : 36)

Termasuk dari thaghut: gambar (patung) yang diajarkan oleh setan dan dia telah menyesatkan generasi demi generasi dari masa Nuh ‘alaihis sallam hingga hari kita ini. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus para nabi untuk mencampakkan, menghancurkan, dan membersihkan bumi dan akal darinya.

Imam Al-Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan dalam Shahih-nya pada tafsir surat Nuh nomor 4920: "Sesungguhnya Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr adalah nama orang-orang Shalih dari kaum Nuh ‘alaihis sallam. Ketika mereka semua telah meninggal, maka setan membisikkan kepada kaum mereka untuk membangun patung (mereka) dan menamakan semuanya dengan nama-nama mereka ditempat majlis-majlis mereka yang dahulu mereka (orang-orang shaleh) duduk ditempat tersebut. Mereka pun melakukannya, namun saat itu belum disembah. Hingga tatkala mereka semua telah meninggal sedangkan ilmu telah terhapus, patung-patung itupun disembah (oleh generasi selanjutnya)."

Yang menjadi saksi dalam hadits ini bahwa penggambaran (makhluk bernyawa) berasal dari bisikan setan, sementara Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat para pembuat gambar, juga Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar." (HR. Al-Bukhari no. 5950)

Dan telah tersebut banyak hadits selain kedua hadits di atas yang menjelaskan kerasnya pengharaman gambar serta penggolongannya ke dalam dosa besar.

Sementara Sayyid Quthb menghalalkannya, menafsirkan dengannya kitab Allah subhanahu wa ta’ala, dan berpendapat itulah metode penafsiran Al-Qur'an yang tertinggi. Dia telah meminta bantuan untuk bukunya At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an kepada professor seni Diyauddin Muhammad, seorang pengawas bidang melukis di Kementrian Ilmu Pengetahuan agar memeriksa bagian khusus tentang kesejiwaan gambar. Lihat At-Tashwir halaman 114.

Adapun seni peran, maka ia berasal dari peribadatan berhala yang diciptakan oleh bangsa Yunani lantas diadopsi bangsa Romawi, setelah itu disebarkan oleh kuffar di negeri-negeri kaum muslimin ketika mereka menjajahnya serta menggunakannya sebagai senjata yang merusak Dien kaum muslimin dan akhlak. Termasuk di antaranya: bioskop, panggung sandiwara, musik, dan seni peran setan. Tidaklah diragukan bahwa seni peran/drama itu haram, sebab:
  1. Padanya ada kedustaan, karena dusta adalah salah satu rukunnya yang harus ada. Demikianlah tatkala Sayyid Quthb memanfaatkannya diapun terjatuh dalam kedustaan, sebagaimana yang akan kami jelaskan di tempat mendiskusikan perkara ini.
  2. Penyerupaan diri dengan kuffar dan bertaklid buta terhadap mereka.
  3. Laki-laki bisa berperan sebagai perempuan dan perempuan berperan laki-laki, lalu ber-ikhtilath (bercampur baur) di dalamnya.
Oleh sebab itulah banyak dari para ulama yang mengingkarinya dengan sangat tegas, di antaranya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Hammud at-Tuwaijiriy, Syaikh Shalih al-Fauzan, dan Syaikh Shalih al-Luhaidan. Juga telah sangat banyak karangan buku Ahlussunnah yang mengharam-kannya, bahkan kalangan ahlil bid'ahpun ikut menyusun buku tentang keharamannya semisal Al-Ghummariy.

Adapun melodi musik (gitar atau piano atau organ????), maka ia adalah seburuk-buruk alat musik senda gurau yang melalaikan, banyak hadits shahih yang diriwayatkan berisi pengharamannya, juga para ulama Islam telah mengharamkannya.

Silakan merujuk kepada kitab Tahriim Aalaatith Tharbi (Haramnya Alat Musik) karangan Al-Allamah Al-Muhaddits Al-Albani, jika engkau mau maka bacalah semuanya. Jika tidak, maka cukuplah pasal pertama halaman 36-74, di mana beliau rahimahullah menyebutkan tujuh hadits dalam pembahasan ini yang menunjukkan diharamkannya lagu dan alat 'senda gurau' (musik). Beliau mempunyai kalimat sangat bagus tentang musik yang beliau rahimahullah sebutkan di pembukaan kitab tersebut. Beliau rahimahullah katakan pada halaman 15: "Di antara hal tersebut, kolom lain yang juga disiarkan oleh majalah Ikhwanul Muslimun di edisi kelima dalam tema 'Musik Islami'. Tersebut padanya:

Nada simponi (klasik) sebagai jenis musik kelas tertinggi yang dicapai oleh para musikus, seperti Beethoven, Straub, Mozart, dan Chicofisky. Semua itu mengungkapkan perasaan kejiwaan yang ada dari balik tabiat manusia, di dalamnya tergabung para pemusik handal dalam jumlah terbesar dengan alat musik paling modern yang beragam, agar lebih tepat dalam memberikan ungkapan dengan segala kemampuan yang dimiliki.

Kelompok simponis Mesir yang berjumlah lebih dari 30 orang pemusik telah terbentuk, mereka dibantu oleh Yayasan Pemuda Kristen(?!) lantas bermain musik di salah satu universitas di Amerika(?!). Betapa pantasnya untuk kita menguasai bidang ini, betapa butuhnya kita kepada semangat baru yang akan menjadi pendobrak blantika musik dan meraih kemajuan internasional dalam bidang ini. Di saat itu, nampaklah sebuah warna tersendiri yang menguasai hati dunia internasional, yaitu musik Islami(?!) sebagai pengganti dari musik timur ...

Al-'Allamah Syaikh Al-Albani mengatakan: "Saya katakan, inilah bukti terbesar bahwa anggapan kehalalan alat-alat musik telah tersebar pada kaum muslimin sampai pun oleh sebagian orang-orang yang menyerukan ‘Pengembalian kemuliaan kaum muslimin dan penegakan Daulah Islam', semisal Ikhwanul Muslimun. Andaikan tidak demikian, maka tentu majalah mereka tidak akan mau untuk menyebarkan kalimat yang sangat jelas menghalalkan musik yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ini. Tidak berhenti sekedar itu bahkan mengajak kepadanya, lantas menamakannya dengan 'musik Islami' di atas timbangan sosialis "Islam", demokrasi "Islam", .. ..dan lainnya yang membuat mereka terkena firman Allah subhanahu wa ta’ala:
 
"Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. " (An-Najm : 23)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan sebagiannya dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Sungguh akan ada umatku yang menghalalkan khamr dengan nama yang mereka sendin membuatnya" pada riwayat yang lain "Mereka menamakannya dengan selain namanya”. Hadits ini dikeluarkan dalam Ash-Shahihah halaman 90, juga akan datang di halaman 86."
Berakhir kalimat Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Inilah sebagian sendi rusak Sayyid Quthb yang dia sebutkan dalam buku At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an dan yang telah dikendarainya dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia, ayat-ayat yang telah dia jadikan sebagai lapangan praktik untuk kaidah-kaidah sesatnya. Begitulah dia melihat bahwa Al-Qur'an seluruhnya adalah tempat untuk mempraktikkan dasar-dasar tersebut. Dia juga telah mempraktikkan dalam buku Masyahidul Qiyamah fil Qur'an, lalu nampak jelas jejaknya pada buku Azh-Zhilal. Sebagaimana dia masih punya kaidah-kaidah lain yang dia praktikkan pada Azh-Zhilal.

____________________

[2] Ta'thil: menghilangkan makna hakiki, (-pent.)
[3] Apakah para nabi, para shahabat, dan orang-orang shalih semuanya, mempunyai ketergantungan kepada seni laksana ketergantungan Sayyid Quthub beserta sanjungannya itu?!

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: BANTAHAN TERHADAP KITAB AT-TASHWIRUL FANNIY FIL QUR'AN karya Sayyid Quthb; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

0 komentar: