Membantah "Dien, Seni, dan Kisah"

Judul ini merupakan salah satu pasal yang terdapat dalam At-Tashwirul Fanniy halaman 171 Sayyid Quthb berkata di bawah judul ini:

"Dahulu kita katakan bahwa tunduknya 'kisah' kepada maksud keagamaan tidaklah menghalangi terlihatnya kekhususan-kekhususan seni sewaktu ditampilkan. Sekarang kita katakan bahwa sebab pengaruh ketundukan inilah makanya nampak keistimewaan-keistimewaan seni itu sendiri yang diperhitungkan pada tinjauan seni tentang kisah (cerita) dalam dunia kesenian yang bebas.”

Dia katakan dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

"Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: 'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.' Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya." (Al-Fajar : 21-26)

Dia katakan: "Di tengah-tengah ketakutan ini yang disebarkan oleh tontonan barisan ketentaraan disertai dengan Jahannam dengan nada (kobaran) barisan ketentaraan yang sangat teratur dan muncul dari bangunan lafazh yang keras bentuknya bersama dengan adzab tunggal tiada duanya dan permisalan ikatan, dikatakan kepada orang-orang yang beriman:

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr : 27-30)

Sayyid Quthb pun menafsirkan ayat ini dengan uslub bahasanya, hingga ucapannya:

"Dengan keharmonisan yang memenuhi seluruh ruang udara dengan ridla dan sambutan kelembutan ini:

(Maka masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku) berbaur dengan mereka dan saling mencintai:

(Dan masuklah dalam Surga-Ku). Disambungkan dengan bunyi 'Lii' beserta suatu jenis nada di sekitar pemandangan yang menentramkan berisi gelombang suka cita yang menghanyutkan, berlawanan dengan nada ketentaraan yang keras itu."

Dia katakan: "Adapun beragamnya musik, meletakkannya sesuai dengan ragam bagian yang diilustrasikannya. Maka di sisi kami ada yang kami pegangi untuk memastikan bahwasanya dia mengikuti aturan khusus dan selaras dengan suasana umum tanpa terkecuali. Kadang kita membutuhkan di dalam meletakkan batasan bagi perbedaan-perbedaan ini dan sewaktu menerangkannya, kaidah-kaidah nada secara khusus dan istilah-istilah nada, di mana tidak semua pembaca mempunyai kesiapan untuk menerima ilmu tersebut, demikian juga dengan kita.

Hanya saja kita menilai masalah ini lebih mudah dari hal tersebut, jikalau kita memilih jenis-jenis yang berjauhan dan berbagai bentuk nada yang berbeda pada surat An-Naazi’at. Dua bentuk nada dan pemaduan yang harmonis bersama keadaan keduanya secara sempurna…………" (At-Tashwirul Fanniy
: 110-111)

Kemudian dia melanjutkan menyebutkan macam-macam nada, intonasi, dan penerapan-nya, serta bahwasanya nada sangat jelas pada sebagian ayat yang membuat tidak butuh lagi mengetahui kaidah-kaidah musik (halaman 112-113). Sedangkan pada halaman 114-115, dia berbicara tentang visualisasi serta pembauran berbagai gambar dan lukisan. Dia katakan: "Keserasian warna ini adalah kunci jalan menuju keserasian yang kita maksudkan itu sendiri di sini. Yang kita maksudkan itu ialah:
  1. Apa yang dinamakan 'Kesatuan lukisan', di mana seorang pemula dalam kaidah-kaidah ini pun memiliki pengetahuan tentang kesatuan ini, sehingga kami tidak berhajat untuk menjelaskannya, namun cukuplah kami katakan: Sesungguhnya kaidah-kaidah dasar seni lukis mengharuskan adanya kesatuan antara tiap-tiap bagian gambar sehingga tidak kacau masing-masing bagiannya.

  2. Penyebaran bagian-bagian gambar -setelah penyesuaian- di atas papan dengan ukuran-ukuran tertentu agar sebagiannya tidak menyerempet bagian yang lain dan ia tidak kehilangan keharmonisan dalam keseluruhannya.

  3. Warna yang dipakai melukis dengannya dan bertahap dalam bayangan agar merealisasikan iklim kebersamaan yang berpadu dengan ide dan tema.

  4. Penggambaran dengan warna-warna sangat memerhatikan keterpaduan ini, sebagaimana hal tersebut diperhatikan pada pembagian peran dalam adegan sandiwara dan film. Penggambaran dalam Al-Qur'an tegak di atas asas itu, walaupun satu-satunya sarana yang dia gunakan hanyalah lafazh-lafazh, maka dengan itu meninggilah nilai mu'jizat-nya dibandingkan semua usaha tersebut."
Sayyid Quthb mengatakan pada halaman 114 dalam buku At-Tashwir, dia mempersilakan professor seni Dhiyauddin Muhammad, seorang pengawas lukisan di kementerian ilmu pengetahuan untuk memberikan koreksi atas bagian khusus tentang keserasian visualisasi, maka diapun berkata: "Ambillah sebuah surat pendek yang bisa saja disangka oleh sebagian orang serupa dengan mantera dukun atau perkataan sajak. Dan ambillah surat Al-Falaq! Suasana apakah yang hendak dibangun di dalamnya? la adalah suasana pengucapan mantera sebab padanya ada suara tersembunyi, samar, pelan, dan memberikan khayalan."

Pernah saya menyangka/mengira ada seorang muslim yang mengatakan ucapan seperti ini dalam menafsirkan Al-Qur'an, akan tetapi inilah keterlepasan dari aqidah. Kemudian dia menafsirkan surat ini berdasarkan kaidahnya, berupa gambar-gambar, foto, perpaduan bagian-bagian, dan pemandangan.

Dia katakan di halaman 117: "Bagian-bagian ini tersebar di atas papan dengan selaras berpadu sebagai keterpaduan yang sangat dalam, semuanya mempunyai satu warna, ia adalah hal-hal yang tersembunyi dan menakutkan, dilipat oleh ketersembunyian dan kegelapan, sedangkan suasana umum tegak di atas asas satu kesatuan bagian dan warna.

Tidak ada dalam penjelasan ini sedikit pun tipu daya, tidaklah nilai kedalaman dari semua ketelitian ini kosong tanpa tujuan, serta bukanlah tujuan ini sebuah hiasan yang fana. Permasalahannya bukanlah persoalan lafazh atau pertemuan perasaan, namun ia adalah layar, suasana, keserasian, dan perpaduan visual yang ternilai sebagai seni kelas tinggi dalam bidang visual. Ini adalah kemu'jizatan jika diperankan daripada sekedar ungkapan saja."


Saya katakan: Ini adalah tikaman yang sangat mengherankan terhadap kitab Allah subhanahu wa ta’ala, tindakan yang sangat buruk kepada Rabb alam semesta, dan itulah tipu daya yang sebenarnya. Seolah Allah subhanahu wa ta’ala seorang seniman yang tidak mempunyai tujuan selain mengundang decak kagum para seniman dan pelukis, seolah Al-Qur'an tidak menjadi mu'jizat kecuali jika berada di atas metode Sayyid Quthb berikut kaidahnya yang sesat dan rusak yang terlepas dari aqidah. Lantas meremehkan tindakan barbar terhadap kedudukan dan kesucian Al-Qur'an juga terhadap keagungan orang yang berbicara dengannya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan wahyu untuk menunjuki para hamba-Nya.

Sayyid Quthb berkata pada pasal 'Keharmonisan seni' halaman 86: "Ketika kita berkata (sesungguhnya visualisasi adalah kaidah dasar uslub Al-Qur'an, lalu imajinasi dan mewujudkan secara jasadi adalah pemandangan yang sangat jelas dalam visualisasi ini), maka kita tidaklah berlebihan dalam memberikan penjelasan tentang keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an secara umum dan juga tidak dengan keistimewaan-keistimewaan visual Al-Qur'an secara khusus. Di luar semua ini, masih banyak cakrawala lain yang dicapai oleh keselarasan rangkaian Al-Qur'an serta dengannyalah penyempurnaan. Darinya didapatkan kesesuaian dalam penampilan seni dan darinya pula lahir musik yang muncul dari pemilihan lafazh dan perangkaiannya dalam aturan khusus.

Lalu karena pemandangan ini terlalu sangat terang dalam Al-Qur'an dan ia teramat sangat dalam membangun seni, maka sesungguhnya pembicaraan mereka tentangnya tidaklah melampaui batas pemandangan yang nampak tersebut, tidak naik kepada pencapaian beragam uslub nada, keterpaduan semuanya itu dengan suasana di mana dillustrasikan dengan musik ini, serta peranan yang dimainkannya di setiap bentuk kalimat."


Lalu Sayyid Quthb mengemukakan keistimewaan-keistimewaan lain.

Setelah itu dia katakan di halaman 89: "Bersamaan dengan keistimewaan-keistimewaan yang ia ciptakan secara hakiki dan berkualitas, sesungguhnya ia senantiasa menjadi pemandangan keselarasan terbaik yang dapat disentuh oleh seorang pembahas Al-Qur'an. Di belakangnya masih ada banyak cakrawala lain yang belum mereka singgung sama sekali selain pemandangan nada musik yang merupakan salah satu ufuk tinggi tersebut. Hanya saja, mereka sebagaimana yang telah saya katakan terhenti pada pemandangan-pemandangan luar. Lalu ketika visualisasi Al-Qur'an adalah perkara yang belum mereka paparkan dengan menjadikannya sebagai asas pengungkapan Qur'ani secara global, maka masih tersisa keselarasan seni dalam visualisasi ini yang jauh dari ufuq pembahasan mereka sesuai tabiat keadaan."

Saya katakan: Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan mereka semua kesehatan dan keselamatan dan menjauhkan mereka dari bala' yang ditimpakan kepadamu dengan sebab kenekatan dan keberpijakanmu yang tanpa aqidah dalam membuat-buat perkataan terhadap Kitab Allah yang agung yang telah engkau jadikan sebagai medan penerapan seni yang terendah. Apakah para seniman dan manusia lainnya mempunyai hak untuk meluruskan Al-Qur'an secara benar??

Sayyid Quthb berkata dalam pasal 'Kisah di dalam Al-Qur'an' halaman 143-144: "Hakikat Al-Qur'an yang terbesar dalam pengungkapan adalah visualisasi". Juga dia katakan "Seni dan Dien dua hal yang setingkat di dalam kedalaman jiwa".

Kami katakan: Andaikan perkaranya seperti yang lelah engkau sebutkan, maka tentu Islam tidak akan memisahkan antara Dien dan seni, padahal Islam mengharamkan lagu, alat senda gurau yang masuk di dalamnya musik dan gendang, juga Islam mengharamkan gambar (yang bernyawa,-pent) dan mengabarkan bahwa para pembuat gambar adalah orang yang akan mendapatkan adzab yang terberat di hari kiamat serta Islam melaknat para pembuat gambar.

Andaikan urusannya sebagaimana yang engkau katakan, maka tentu para nabi, shahabat, dan manusia pilihan umat ini yakni ulama akan menjadi orang yang paling memerhatikan bidang seni. Sangat mustahil Dien menilai seni setingkat dengannya, serta sangat jauh orang pilihan umat ini bahkan orang terburuknya pun dari menganggap Dien dan seni sebagai dua hal yang sederajat.

Andaikan masalahnya seperti yang diucapkan oleh Sayyid Quthb, maka tentu engkau akan mendapatkan sekolah-sekolah seni akan selalu berdampingan dengan sekolah-sekolah Dien. Bagaimanapun ulama umat ini adalah manusia yang terpintar tentangnya, namun Allah subhanahu wa ta’ala melindungi mereka dari was-was semua setan, baik setan manusia maupun jin.

[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]

0 komentar: