Penyimpangan Keempat: Al-Banna Meremehkan Tawassul yang Merupakan Jalan Menuju Syirik


Kesimpulan Umum Keempat:
Dia meremehkan tawassul yang merupakan jalan menuju syirik serta menganggapnya sebagai cabang permasalahan agama yang tidak terlalu penting


Al-Banna telah menegaskan bahwa tawassul termasuk urusan furu' yang masih diperselisihkan dan bukan termasuk perkara akidah. Dia katakan di asas XV dari 20 asas: Berdoa kalau diikuti tawassul kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan salah seorang makhluk-Nya merupakan permasalahan furu' yang diperselisihkan berkaitan dengan tata cara doa, serta tidak termasuk dalam perkara akidah. 95)

Saya katakan:
  1. Tawassul kepada dzat seseorang adalah dilarang dan haram, tidak diketahui seorang shahabat-pun yang melakukannya. Sedangkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika meminta hujan: "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu (ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, pent.) lalu Engkau memberikan kami hujan, sedangkan sekarang ini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berikanlah kami hujan". Ini adalah dalil yang menjatuhkan pendapat orang-orang yang meyakini bolehnya bertawassul dengan dzat, sebab andaikan tawassul dengan dzat 96) itu boleh maka Umar radhiyallahu ‘anhu tidak akan berpaling meninggalkan dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memilih doa Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu.
  2. Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu hanyalah ber-tawassul dengan doa Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu bukan dengan dzatnya.
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah rahimahullah ketika ditanya "Apakah boleh bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak?", maka beliau rahimahullah menjawab: ((Alhamdulillah, adapun bertawassul dengan beriman kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai dan menaatinya, dengan doa dan syafa'at Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta semacamnya dari perbuatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para hamba yang diperintahkan, maka ini sesuai dengan syari'at berdasarkan kesepakatan umat Islam. Para shahabat radhiyallahu ‘anhum bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka bertawassul dengan Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu paman Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebagaimana tawassul mereka dahulu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam."

Maksud dari Syaikhul Islam rahimahullah ialah mereka bertawassul dengan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya, lalu ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat merekapun bertawassul dengan doa paman Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu. Oleh karena itu Syaikhul Islam rahimahullah berkata setelah itu: "Adapun ucapan orang "Ya Allah, saya bertawassul kepadamu dengannya shallallahu ‘alaihi wa sallam", maka dalam hal ini pendapat ulama terbagi menjadi dua sebagaimana perbedaan mereka tentang bersumpah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mayoritas para imam, seperti Malik, Asy-Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat: Tidak boleh bersumpah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau selain Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para nabi ataupun malaikat. Sumpah demikian tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama dan merupakan salah satu riwayat dari pendapat Ahmad, sedangkan riwayat lain dari beliau rahimahullah, yang sah adalah sumpah dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, adapun selain Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak sah.

Akan tetapi Imam Ahmad merubah pendapat beliau: "Ini adalah sumpah terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dengan makhluk". Riwayat lain dari beliau sama dengan pendapat mayoritas ulama bahwa tidak boleh bersumpah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula dengan seluruh malaikat dan nabi, sebab kita tidak mengetahui seseorang Salaf-pun dan para imam yang menyatakan boleh bersumpah dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Para ulama Salaf menyatakan tidak boleh bersumpah dengan mereka semua secara mutlak.

Oleh karena itu Abu Muhammad bin Abdussalam berfatwa “Tidak boleh bersumpah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan seseorang dari nabi, malaikat atau selainnya". Namun disebutkan bahwa Abu Muhammad telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi bersumpah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu beliau mengatakan: "Kalaupun hadits ini benar, maka itu khusus untuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam". Hadits itu tidak menunjukkan (bolehnya) bersumpah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak bersumpah maka dia harus bersumpah dengan Allah ‘Azza wa Jalla, kalau tidak demikian maka hendaknya dia diam!"

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Siapa saja yang bersumpah dengan selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia telah kafir atau musrik."

Doa adalah ibadah sedangkan ibadah dasarnya adalah tauqif (harus dengan dalil) dan ittiba' (mencontoh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukan dengan hawa nafsu dan membuat bid'ah, Wallahu a'lam. 97))

Saya katakan: Ucapan bahwa bersumpah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan dzat seseorang dari makhluk atau kedudukannya adalah diharamkan dan tidak boleh, itulah pendapat yang benar karena beberapa sebab:
  1. Tidak ada hadits yang sah dari Nabi bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya atau memerintahkannya, demikian juga tidak sah bahwa ada seorang shahabat yang melakukannya atau memerintahkannya. Andaikan tawassul dengan dzat atau kedudukan itu termasuk ibadah yang disyari'atkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya, maka tentu para shahabat radhiyallahu ‘anhum akan menukilkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir atau masyhur sebagaimana ibadah-ibadah lain yang dinukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara masyhur.

  2. Semua riwayat yang menunjukkan bolehnya bersumpah dengan makhluk kepada Allah ‘Azza wa Jalla atau memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kedudukan mereka, maka riwayat tersebut tidak ada yang terlepas dari: apakah ia maudhu' atau dhaif. Lihat kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, juz I kitab Al-Fatawa Al-Kubra karya Syaikhul Islam juga, Audhahul Isyarahi fir Raddi 'ala Man Ajazal Mamnu' Minaz Ziyarah 98) yang berisi hasil penelitian yang diambil dari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan selainnya.

  3. Kaedah syari'at: "Kita harus mengembalikan urusan yang kabur kepada yang jelas serta mengembalikan urusan yang dianggap asing kepada yang sudah dikenal dengan cara menjauhi yang asing dan mengambil yang sudah dikenal", sedangkan yang sudah dikenal dalam syari'at Islam adalah: Wasilah yang di perintahkan ialah dengan amal shaleh, sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
    "Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya ." (QS, Al Maidah: 35)

  4. Adapun hadits Utsman bin Hunaif, kalaupun hadits itu shahih maka yang dimaksud ialah bertawassul dengan doa dan bukan dengan dzat. Sedangkan riwayat bahwa dia telah menyuruh seseorang untuk bertawassul dengan dzat di masa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kemudian hajatnya tercapai, maka kabar ini tertolak sebab tiga perkara:
    a- Dhaif riwayatnya.
    b- Andai kabar ini benar, maka ia termasuk ijtihad dari Utsman bin Hunaif, namun tidak seorang shahabatpun yang sepakat dengannya.
    c- Terpenuhinya hajat laki-laki itu tidak menunjukkan disyari'atkannya apa yang diperintahkan Utsman, bahkan hajatnya terpenuhi sebagai ujian sebagaimana terkadang hajat seorang musyrik terpenuhi di saat dia berdoa kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla padahal hal itu tidak menunjukkan bolehnya melakukan syirik.

  5. Kewajiban kita adalah mengambil pendapat Imam Ahmad yang sesuai dengan jama'ah para Imam dan menolak pendapatnya yang berdiri sendiri, sebab pendapat yang sesuai dengan jama'ah itulah yang paling benar dan paling kita sukai daripada pendapat beliau rahimahullah pribadi, karena meskipun beliau rahimahullah seorang Imam Ahlussunnah yang sejati namun beliau rahimahullah tidaklah ma'shum dari kesalahan. Imam Malik rahimahullah telah berkata: "Semua orang boleh diambil pendapatnya dan dibantah, kecuali pemilik kubur ini (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

  6. Pendapat yang membolehkan tawassul dengan dzat merupakan kunci dari pintu masuk kepada keburukan yang lebih dasyat, ketahuilah... hal itu adalah syirik akbar (syirik besar), sebab secara umum orang tidak akan merasa cukup sekedar memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan dzat saja yang merupakan perbuatan bid'ah, bahkan mereka segera akan dibawa oleh syaitan dari memohon dengan dzat menjadi memohon kepada dzat itu sendiri. Siapa yang memperhatikan dengan jeli keadaan manusia maka dia tidak akan ragu sedikitpun tentang hal ini.

  7. Dari sini tampak jelas bagi anda: perkataan Al-Banna bahwa tawassul itu termasuk perkara furu' adalah perkataan yang bathil, bahkan tawassul termasuk dalam hukum yang berkaitan dengan akidah, wabillahit taufik.
______________________

95) Nazharat fi Risalatit Ta'alim, halaman 177, disusun oleh Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim Hamid

96) Bertawassul dengan dzat ialah bertawassul atas nama atau kedudukan orang itu, ini tidak boleh. Yang benar ialah bertawassul dengan doa orang shaleh bukan dengan nama atau kedudukannya saja, wallahu a'lam, pent

97) Al-Fatawa Al-Kubra, karya Ibnu Taimiyyah I/140-141

98) Karya Syaikh kita Penulis kitab tersebut. (Syaikh Muhammad bin Hadi)

[Dari : Al Mauridu Al'Adzbi Az-Zalaal Fiima Untuqida 'Alaa Ba'dli Al-Manahij Ad-Da'awiyah Min Al-'Aqaaid wa Al-A'mal; Penulis: Syaikh Al-Allamah Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmi hafizhahullah; Resensi dan Pujian: Shahibul Fadhilah Asy-Syaikh Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah - Fadhilatusy Syaikh Rabi' bin Hadi Umair Al-Madkhali hafizhahullah; Edisi Indonesia: Mengenal Tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin; Halaman: 218-221; Penerjemah: Muhammad Fuad Qawam, Lc.; Cetakan Pertama: Sya'ban 1426 H/ September 2005M; Penerbit: Cahaya Tauhid Press, Malang]

0 komentar: