Ini merupakan salah satu tema Sayyid Quthb dalam bukunya At-Tashwirul Fanniy fil Qur'an halaman 25.
Di pasal ini Sayyid Quthb berbicara tentang tafsir dan para ahli tafsir, juga tentang para ahli bahasa dan pembahasan balaghah (sastra), di mana dia menampakkan kekurangan semuanya menurut pandangannya, lalu dia katakan di halaman 34:
Di pasal ini Sayyid Quthb berbicara tentang tafsir dan para ahli tafsir, juga tentang para ahli bahasa dan pembahasan balaghah (sastra), di mana dia menampakkan kekurangan semuanya menurut pandangannya, lalu dia katakan di halaman 34:
(("Apapun juga sumbangan tenaga yang telah dikuras dalam tafsir, pembahasan balaghah, dan kemu'jizatan Al-Qur'an, maka ia terhenti di batas-batas pemikiran kritis 'Arab masa silam. Ia pemikiran parsial yang mengambil ayat demi ayat, lalu menjelaskannya secara tahlili (diuraikan) dan ditampakkan keindahan seni yang terdapat pada ayat tersebut sampai batas kemampuannya, tanpa melintas kepada pencapaian keistimewaan-keistimewaan umum dalam fungsi seni seluruhnya.
Gambaran ini sangat nampak jelas dalam pembahasan tingkat balaghah Al-Qur'an, tidak seorang pun yang menyeberang melewati satu nash kepada keistimewaan-keistimewaan seni secara umum, kecuali apa yang dibicarakan tentang keselarasan susunan Al-Qur'an dan lafazh-lafazhnya, atau puitisasi yang terdapat di dalamnya bahwa telah memenuhi syarat-syarat tingkat kefasihan dan balaghah.
Semua keistimewaan ini -sebagaimana yang dinyatakan sebenarnya oleh 'Abdul Qahir- tidaklah disebutkan untuk menjelaskan kemu'jizatan (bahasa), sebab hal itu mudah bagi setiap penyair dan penulis. Dan juga dikarenakan para pembahas terhenti pada balaghah Al-Qur'an di sisi keistimewaan nash-nash yang berdiri sendiri lalu tidak melewatinya kepada keistimewaan universal.
Mereka telah sampai kepada tahapan yang kedua dari tahapan-tahapan memandang kepada jejak-jejak seni, yakni fase pencapaian tempat-tempat indah yang berpencar lalu menjelaskan setiap tempat secara terpisah. Demikianlah, namun sesuai dengan apa yang kami sebutkan di depan bahwa pencapaian ini sangat jelas masih kurang."))
Saya katakan:
1. Andaikan demikian keadaan orang yang menduduki tahapan kedua bahwa pencapaian mereka jelas kurang, maka bagaimanakah keadaan orang di tahapan pertama, bahkan bagaimanakah keadaan orang yang sebelum mereka dari kalangan para shahabat dan tabi'in?! Kita tidak sanggup mengucapkan apa-apa selain mengatakan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
2. Seolah Sayyid tidak menganggap apa-apa yang disebutkan tentang Al-Qur'an dari kefasihan, balaghah, serta keselarasan susunan dan lafazh sebagai kemu'jizatan (bahasa). Namun kemu'jizatan hanyalah inovasi yang dia dapatkan berupa beragam bentuk visualisasi seni dan metodologi seni modern yang dilariskan oleh peran film dan sandiwara.
Mendebat "Pencapaian penemuan manhaj baru Sayyid Quthb yang belum dicapai oleh seluruh ulama umat ini sebelumnya"
3. Lalu dia katakan: "Adapun tahapan ketiga -fase pencapaian keistimewaan universal-, maka mereka belum mencapainya sama sekali, tidak dalam adab (kesusasteraan) dan tidak juga pada Al-Qur'an. Maka tinggallah ciri khas seni Al-Qur'an yang paling istimewa menjadi terlalaikan dan tersembunyi. Sehingga menjadi hal darurat untuk mempelajari kitab mu'jizat ini dengan metode baru, membahas sendi-sendi universal keindahan seni padanya, menjelaskan ciri khas yang mengistimewakan keindahannya dibandingkan dengan semua kesusasteraan yang telah diketahui oleh bahasa ‘Arab, serta menafsirkan kemu'jizatan seni dengan cara menarik dari sumber yang menjadi ciri istimewa dalam Al-Qur'an yang tiada tara." (Halaman 34)
Itulah manhaj bid'ah yang ditimba Sayyid Quthb dari lingkungannya dan kehidupan yang mengitarinya, padanya ada panggung sandiwara, bioskop, diskotik, dan lain sebagainya yang masuk ke negerinya dan negeri lainnya dari Eropa dan Amerika. Kalau urusannya demikian, maka jangan sampai metode baru ini terlintas di benak seseorang. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membangkitkan mereka untuk berlepas diri dari manhaj ini dan memeranginya, sebab padanya ada penghinaan terhadap Al-Qur'an dan membawanya turun dari kedudukannya yang tinggi kepada peradaban yang paling hina dina, sebagaimana yang akan nampak bagi pembaca setelah meneliti manhaj baru ini.
Kaidah besar yang Sayyid Quthb berangkat darinya dalam penulisan buku ini, Azh-Zhilal dan Al-Masyahid.
Itulah 'visualisasi seni'. Visualisasi di sisinya merupakan sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an. Sayyid Quthb mengatakan di halaman 36:
((Contoh-contoh atas apa yang kami katakan adalah Al-Qur'an seluruhnya…….. Kita wajib memperluas makna visualisasi, agar kita dapat menggapai cakrawala visualisasi seni dalam Al-Qur'an. la adalah visualisasi dengan warna, gerakan, dan khayalan, sebagaimana juga termasuk visualisasi dengan senandung yang menduduki posisi warna dalam pertunjukan. Di situ sering kali ikut serta pengkarakteran, dialog, dendang kata, senandung ungkapan, serta nada kalimat dalam menampakkan suatu gambar yang dinikmati oleh mata, telinga, rasa, khayalan, pikiran, dan jiwa."
TANGGAPAN:
Atas dasar kaidah pertama yang berbahaya ini, atas dasar kaidahnya yang kedua 'Keterlepasan dari ikatan aqidah, atas dasar kaidah ketiga 'Dien dan seni sekelas', dan atas segala macam asasnya dia telah mengubah ayat-ayat Al-Qur'an menjadi tontonan, pertunjukan, sandiwara, film, musik, tepuk tangan….. hingga akhir ilmu yang diketahui oleh para tokoh perfilman dan sandiwara, bukan yang diketahui oleh para cerdik pandai yang Al-Qur'an menyebutkan tentang mereka, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal." (Thaahaa : 54)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (An-Nahl : 12)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (Qaaf : 37)
Merekalah ahli iman, khusyu', dan taqwa, bukannya ahli kenikmatan syahwat dari para penggiat perfilman, sandiwara, serta penari yang diiringi musik.
Marilah kita melihat bagaimana kaidah ini berbuat terhadap dirinya, otaknya, dan tindak tanduknya selain keburukan yang disebutkan sebelumnya. Kita tidak sanggup untuk mengukur betapa jauh dampak buruk dari semua kaidah itu terhadap buku ini, semua isinya adalah penerapan kaidah-kaidah itu. Hanya saja kita akan mencukupkan sebagian contoh yang dengannya seorang yang cerdik dapat mengetahui betapa lancangnya laki-laki ini terhadap Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan terhadap sebagian Nabi pilihan-Nya (yakni Musa ‘Alahis sallam).
[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 73-78; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
Gambaran ini sangat nampak jelas dalam pembahasan tingkat balaghah Al-Qur'an, tidak seorang pun yang menyeberang melewati satu nash kepada keistimewaan-keistimewaan seni secara umum, kecuali apa yang dibicarakan tentang keselarasan susunan Al-Qur'an dan lafazh-lafazhnya, atau puitisasi yang terdapat di dalamnya bahwa telah memenuhi syarat-syarat tingkat kefasihan dan balaghah.
Semua keistimewaan ini -sebagaimana yang dinyatakan sebenarnya oleh 'Abdul Qahir- tidaklah disebutkan untuk menjelaskan kemu'jizatan (bahasa), sebab hal itu mudah bagi setiap penyair dan penulis. Dan juga dikarenakan para pembahas terhenti pada balaghah Al-Qur'an di sisi keistimewaan nash-nash yang berdiri sendiri lalu tidak melewatinya kepada keistimewaan universal.
Mereka telah sampai kepada tahapan yang kedua dari tahapan-tahapan memandang kepada jejak-jejak seni, yakni fase pencapaian tempat-tempat indah yang berpencar lalu menjelaskan setiap tempat secara terpisah. Demikianlah, namun sesuai dengan apa yang kami sebutkan di depan bahwa pencapaian ini sangat jelas masih kurang."))
Saya katakan:
1. Andaikan demikian keadaan orang yang menduduki tahapan kedua bahwa pencapaian mereka jelas kurang, maka bagaimanakah keadaan orang di tahapan pertama, bahkan bagaimanakah keadaan orang yang sebelum mereka dari kalangan para shahabat dan tabi'in?! Kita tidak sanggup mengucapkan apa-apa selain mengatakan: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
2. Seolah Sayyid tidak menganggap apa-apa yang disebutkan tentang Al-Qur'an dari kefasihan, balaghah, serta keselarasan susunan dan lafazh sebagai kemu'jizatan (bahasa). Namun kemu'jizatan hanyalah inovasi yang dia dapatkan berupa beragam bentuk visualisasi seni dan metodologi seni modern yang dilariskan oleh peran film dan sandiwara.
Mendebat "Pencapaian penemuan manhaj baru Sayyid Quthb yang belum dicapai oleh seluruh ulama umat ini sebelumnya"
3. Lalu dia katakan: "Adapun tahapan ketiga -fase pencapaian keistimewaan universal-, maka mereka belum mencapainya sama sekali, tidak dalam adab (kesusasteraan) dan tidak juga pada Al-Qur'an. Maka tinggallah ciri khas seni Al-Qur'an yang paling istimewa menjadi terlalaikan dan tersembunyi. Sehingga menjadi hal darurat untuk mempelajari kitab mu'jizat ini dengan metode baru, membahas sendi-sendi universal keindahan seni padanya, menjelaskan ciri khas yang mengistimewakan keindahannya dibandingkan dengan semua kesusasteraan yang telah diketahui oleh bahasa ‘Arab, serta menafsirkan kemu'jizatan seni dengan cara menarik dari sumber yang menjadi ciri istimewa dalam Al-Qur'an yang tiada tara." (Halaman 34)
Itulah manhaj bid'ah yang ditimba Sayyid Quthb dari lingkungannya dan kehidupan yang mengitarinya, padanya ada panggung sandiwara, bioskop, diskotik, dan lain sebagainya yang masuk ke negerinya dan negeri lainnya dari Eropa dan Amerika. Kalau urusannya demikian, maka jangan sampai metode baru ini terlintas di benak seseorang. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membangkitkan mereka untuk berlepas diri dari manhaj ini dan memeranginya, sebab padanya ada penghinaan terhadap Al-Qur'an dan membawanya turun dari kedudukannya yang tinggi kepada peradaban yang paling hina dina, sebagaimana yang akan nampak bagi pembaca setelah meneliti manhaj baru ini.
Kaidah besar yang Sayyid Quthb berangkat darinya dalam penulisan buku ini, Azh-Zhilal dan Al-Masyahid.
Itulah 'visualisasi seni'. Visualisasi di sisinya merupakan sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an. Sayyid Quthb mengatakan di halaman 36:
((Contoh-contoh atas apa yang kami katakan adalah Al-Qur'an seluruhnya…….. Kita wajib memperluas makna visualisasi, agar kita dapat menggapai cakrawala visualisasi seni dalam Al-Qur'an. la adalah visualisasi dengan warna, gerakan, dan khayalan, sebagaimana juga termasuk visualisasi dengan senandung yang menduduki posisi warna dalam pertunjukan. Di situ sering kali ikut serta pengkarakteran, dialog, dendang kata, senandung ungkapan, serta nada kalimat dalam menampakkan suatu gambar yang dinikmati oleh mata, telinga, rasa, khayalan, pikiran, dan jiwa."
TANGGAPAN:
Atas dasar kaidah pertama yang berbahaya ini, atas dasar kaidahnya yang kedua 'Keterlepasan dari ikatan aqidah, atas dasar kaidah ketiga 'Dien dan seni sekelas', dan atas segala macam asasnya dia telah mengubah ayat-ayat Al-Qur'an menjadi tontonan, pertunjukan, sandiwara, film, musik, tepuk tangan….. hingga akhir ilmu yang diketahui oleh para tokoh perfilman dan sandiwara, bukan yang diketahui oleh para cerdik pandai yang Al-Qur'an menyebutkan tentang mereka, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal." (Thaahaa : 54)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (An-Nahl : 12)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (Qaaf : 37)
Merekalah ahli iman, khusyu', dan taqwa, bukannya ahli kenikmatan syahwat dari para penggiat perfilman, sandiwara, serta penari yang diiringi musik.
Marilah kita melihat bagaimana kaidah ini berbuat terhadap dirinya, otaknya, dan tindak tanduknya selain keburukan yang disebutkan sebelumnya. Kita tidak sanggup untuk mengukur betapa jauh dampak buruk dari semua kaidah itu terhadap buku ini, semua isinya adalah penerapan kaidah-kaidah itu. Hanya saja kita akan mencukupkan sebagian contoh yang dengannya seorang yang cerdik dapat mengetahui betapa lancangnya laki-laki ini terhadap Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan terhadap sebagian Nabi pilihan-Nya (yakni Musa ‘Alahis sallam).
[Dari: Nadzaraat fii Kitaabi At-Tashwiir Al-Fanniy fil Qur'aan Al-Kariim li Sayyid Quthb; Penulis: Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhaly; Edisi Indonesia: Bantahan Terhadap Kitab At-Tashwirul Fanniy Fil Qur'an karya Sayyid Quthb; Hal: 73-78; Penerjemah: Muhammad Fuad, Lc; Cetakan: Pertama, Maret 2008; Penerbit: Pustaka Ar Rayyan]
0 komentar:
Posting Komentar